BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tatkala seseorang
meninggal dunia walaupun tanggungan pribadinya tidak bisa dialihkan kepada
orang lain, akan tetapi yang berkaitan dengan harta benda bisa beralih kepada oranng lain
yang ditinggalkanya. Dan hukum peralihan harta peninggalan inilah dalam islam
yang biasa disebut dengan mawaris atau ilmu faraid.
Hukum
islam telah menerangkan
dan mengatur hal-hal ketentuan yang berkaitan dengan penbagian harta waris
dengan aturan yang sangat adil sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada
Al-Quran dan hadist. Dalam
hukum waris ini telah ditetapkan dengan rinci bagian masing-masing ahli waris,
baik laki-laki maupun perempuan mulai dari bapak, ibu, kakek, nenek, suami,
istri, anak, saudara dan seterusnya. Adapun ketetapan waris ditetapkan pula
dalam hadis dan Ijma’ Ulama’. Di dalam Al Quran, hanya hukum warislah yang
mendapat penjelasan rinci, sebab warisan merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dalam
islam, serta dibenarkan adanya oleh Allah SWT.
Hubungan
persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah
atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya
pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah
menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata).
Banyak
permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli
waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan
antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam
membagi harta warisan.
Oleh karenanya, dalam pembagian warisan harus di lihat
terlebih dahulu hukum yang mana yang akan di gunakan oleh para ahli waris dalam
menyelesaikan sengketa waris yang terjadi.
Mewaris memegang peranan yang penting dalam kehidupan
manusia, sebab mewaris pada jaman Arab jahiliyah sebelum islam datang membagi
harta warisan kepada orang
laki-laki
dewasa sedangkan kaum perempuan dan anak-anak yang belum dewasa tidak
mendapatkan bagian.
Dapat dikembangkan bahwa orang yang memiliki pertalian
darah, perkawinan yang sah baik itu suami/istri, anak laki-laki maupun
perempuan bisa mendapatkan warisan. Hal ini yang menimbulkan permasalahan
dimana kebanyak orang memiliki anak laki untuk mendapatkan warisan seperti
jaman jahiliyah sebelum masuknya islam. Hal ini diakibatkan kurangnya
pengetahuan mengenai mewarisi.
Oleh karena itu
kita harus mengerti dan paham masalah waris mewarisi, hak waris dan lain-lain
agar dapat kita terapkan di dalam keluarga.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apakah
penngertian dan hukum waris ?
1.2.2
Apakah
tujuan dan kedudukan mewarisi ?
1.2.3
Apakah
sebab-sebab terjadinya waris ?
1.2.4
Apakah
yang menjadi halangan waris ?
1.2.5
Siapa
saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagianya ?
1.2.6
Bagaimana
tatacara pembagian waris berdasarkan Aul dan Radd ?
1.2.7
Apakah
yang dimaksud dengan gharrawin, musyarakah dan akhdariyah ?
1.2.8
Berapa
bagian anak dalam kandungan dan orang hilang ?
1.2.9
Bagaimana
tatacara pembagian harta bersama ?
1.2.10 Apakah hikmah dari pembagian waris ?
1.3 Tujuan
1.3.1
Menjelaskan
pengertian dan hukum ilmu waris
1.3.2
Menjelaskan
tujuan dan kedudukan ilmu waris
1.3.3
Menjelaskan
sebab-sebab waris mewarisi
1.3.4
Menjelaskan
halangan waris mewarisi
1.3.5
Menjelaskan
macam-macam ahli waris dan bagianya
1.3.6
Menjelaskan
tentang tatacara pembagian waris dengan Aul dan Radd
1.3.7
Menjelaskan
masalah gharrawin, musyarakah dan akhdariyah
1.3.8
Menjelaskan
bagian anak dalam kandungan dan orang hilang
1.3.9
Menjelaskan
tentang pembagian harta bersama
1.3.10 Menjelaskan hikmah pembagian warisan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Dan Hukum Waris
Mawaris
dari segi bahasa adalah harta yang di wariskan, dari segi istilah yaitu ilmu
tentang pembagian harta peninggalan setelah seseorang meninggal dunia. Ilmu
mawaris ndi sebut juga ilmu faroid yang artinya ketentuan. Dari segi istilah
faroid adalah ilmu tentang membagi harta peninggalan seseorang setelah
meninggal dunia. Dengan kata lain dapat di rumuskan ilmu faroid atau mawaris
adalah ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan pembagian harta pusakabagi
ahli waris menurut hukum islam
Adapun sumber hukum ilmu mawaris adalah Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul bukan bersumber kepada pendapat seseorang yang terlepas dari jiwa
Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan masalah mawaris antara lain:
Artinya: bagi
laki-laki ada bagian dari harta yang di tinggalkan oleh ibu-bapak dan
kerabatnya. Dan bagi wanita ada bagian dari harta yang di tinggalkan oleh ibu
bapak dan kerabatnya baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah di
tetapkan. (An Nisa’:7)
Adapun dasar hukum waris yang berasal dari sunnah Rasul antara lain:
Artinya :bagi
seorang yang membunuh tidak mendapat hak waris (HR.An Nasai)
Rukun waris adalah :
1.
Orang yang mewarisi
2.
Ahli waris
3.
Harta waris
4.
Ijab qobul
2.2 Tujuan Dan Kedudukan Ilmu Waris
Tujuan
ilmu mawaris adalah membagi harta warisan sesuai dengan ketentuan Nash
(Al-Qur’an dan Sunnah) sesuai dengan keadilan sosial dan tugas serta tanggung
jawab masing-nasing ahli waris.lmu mawaris merupakan ilmu yang
memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama islam, karena berisi penjelasan
tentang ketentuan dan aturan Allah AWT dalam pembagian harta warisan yang harus
dijadikan pedoman umat islam, semua ketentuan ini berasal dari Allah SWT Dzat
yang maha tahu sedangkan manusia tidak mengetahui hakikat sesuatu, sebagaimana
firman Allah SWT:
Artinya: “Tentang
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana “ (QS. An-Nisa11)
2.3 Sebab-Sebab Mewarisi
Tidak semua orang dapat waris mewarisi terhadap yang
lain. Tetapi karena sebab-sebab tertentu yang di atur oleh syari’at islam. Maka
seseorang dengan orang lain dapat waris mewarisi.
Adapun sebab-sebab seseorang dapat mewarisi orang yang
meninggal itu adalah karena:
1. Pertalian
darah atau nasab (nasab haqiqi)
2.
Perkawinan yang sah(persemendaan)
3.
Pemerdekaan / wala’ (nasab hukmi)
Yang dimaksud dengan pertalian darah (nasab haqiqi)adalah orang yang akan
mewarisi itu ada hubungan darah dengan si mayat misalnya ayah, ibu,cucu,saudara
dan sebagainya.
Sedangkan yang di maksud dengan perkawinan yang sah
adalah perkawinan yang di lakukan dengan memenuhi segala syarat hukum
perkawinan yang di atur dalam agama islam. Dengan adanya perkawinan itu maka
seorang istri atau suami yang sebelumnya tidak ada hak waris mewarisi menjadi
dapat waris mewarisi di antara keduanya.
Adapun yang di maksud dengan wala’ atau pemerdekaan adalah bila seseorang
memerdekakan seorang hamba sahaya maka meskipun antara mereka tidak ada
hubungan darah mereka dapat saling mewarisi.bukan nasab yang sebenarnya kalau
seseorang tidak mempunyai ahli waris,maka harta peninggalanya di serahkan
kepada bait al-mal untuk kepentingan umat islam.
2.4 Halangan Mewarisi
Penghalang waris mewarisi yaitu
suatu tindakan atau hal-hal yang dapat menghilangkan atau menggugurkan hak
seseorang sebagai hak ahli waris atau sebagai hak pewaris menurut hukum
syara.aga
Adapun penghalang hak waris mewarisi,yaitu:
1. Berbeda Agama / Kafir / Murtad
Berbeda agama berarti berbeda i'tiqad atau keyakinan, menurut hukum syara seorang muslim tidak boleh saling waris mewarisi dengan orang kafir atau orang murtad, sebagaimna rasululloh bersabda, "seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi seorang muslim"(Hadits Riwayat Bukhari).
2.Pembunuhan
Adapun pengertian pembunuhan secara umum adalah suatu perbuatan dosa terbesar di bawah kufur, yakni menghilangkan nyawa seseorang, baik sendiri maupun membunuh secara masal, denga alat yang mematikan, baik yang berbentuk materi ataupun berbentuk non materi.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa pembunuhan gugurnya hak waris atau mewarisi, seperti:
a. Pembunuhan sengaja
b. Pembunuhan tersalah
c. Diputuskan selaku pembunuh
Adapun penghalang hak waris mewarisi,yaitu:
1. Berbeda Agama / Kafir / Murtad
Berbeda agama berarti berbeda i'tiqad atau keyakinan, menurut hukum syara seorang muslim tidak boleh saling waris mewarisi dengan orang kafir atau orang murtad, sebagaimna rasululloh bersabda, "seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi seorang muslim"(Hadits Riwayat Bukhari).
2.Pembunuhan
Adapun pengertian pembunuhan secara umum adalah suatu perbuatan dosa terbesar di bawah kufur, yakni menghilangkan nyawa seseorang, baik sendiri maupun membunuh secara masal, denga alat yang mematikan, baik yang berbentuk materi ataupun berbentuk non materi.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa pembunuhan gugurnya hak waris atau mewarisi, seperti:
a. Pembunuhan sengaja
b. Pembunuhan tersalah
c. Diputuskan selaku pembunuh
Rasululloh SAW bersabda:"barang
siapa yang membunuh seseorang korban, maka, ia tidak dapat mempusakainya,
walaupun sikorban tidak mempunyai pewaris selainnya dan jika sikorban itu
bapaknya atau anaknya, maka bagi pembunuhan tidak berhak menerima harta
peninggalan"(Hadits riwayat ahmad).
3. Status Budak
Persoalan masalah budak di zaman sekarang sungguh
sulit karena ajaran islam sudah menghapus tentang perbudakan, namun, dengan
mempelajari hukum waris, kita akan mengetahui bahwa dulu masalah perbudakan
ada.Dalam hukum syara, kita harus bisa memahami persolan status budak yang
terhalang menerima hak waris.
Macam-macam
budak :
a. Budak qin
Hamba sahaya/amat yang mutlak kehambaannya atas tuannya.
b. Budakmudabbar
Hamba sahaya/amat yang bebas atau merdeka menunggu kematian tuannya.
c. Budak mukatab
Hamba sahaya/amat yang ingin merdeka dengan cara dibayar pada tuannya.
d. Budak maba'adl
Hamba sahaya/amat yang separuh dari dirinya sudah merdeka.
e. Budak mu'alaq
Hamba sahaya/amat yang kemerdekaannya digantungkan dengan sesuatu sifat atau yang lainnya.
f. Budak musha bi ithqihi
Hamba sahaya/amat yang kemerdekaannya disebabkan adanya wasiat dari tuannya.
g. Ummu walad
Hamba sahaya/amat yang mempunyai keturunan dari tuannya.
Semua hamba sahaya/amat tidak berhak menerima waris, kecuali budak muba'adl ketika mati mawariskan tapi tidak mempunyai hak menerima waris.
Ulama ahli fara'id sepakat bahwa status budak menjadi penghalang waris mewarisi, hal ini didasarkan adanya petunjuk umum dari suatu nash yang shahih yang menafikan seorang budak segala bidang.
Firman Allah SWT
"Allah telah membuat perumpaan (yakni) seorang budak yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun"....(Q.S. An-Nisa: 75)
a. Budak qin
Hamba sahaya/amat yang mutlak kehambaannya atas tuannya.
b. Budakmudabbar
Hamba sahaya/amat yang bebas atau merdeka menunggu kematian tuannya.
c. Budak mukatab
Hamba sahaya/amat yang ingin merdeka dengan cara dibayar pada tuannya.
d. Budak maba'adl
Hamba sahaya/amat yang separuh dari dirinya sudah merdeka.
e. Budak mu'alaq
Hamba sahaya/amat yang kemerdekaannya digantungkan dengan sesuatu sifat atau yang lainnya.
f. Budak musha bi ithqihi
Hamba sahaya/amat yang kemerdekaannya disebabkan adanya wasiat dari tuannya.
g. Ummu walad
Hamba sahaya/amat yang mempunyai keturunan dari tuannya.
Semua hamba sahaya/amat tidak berhak menerima waris, kecuali budak muba'adl ketika mati mawariskan tapi tidak mempunyai hak menerima waris.
Ulama ahli fara'id sepakat bahwa status budak menjadi penghalang waris mewarisi, hal ini didasarkan adanya petunjuk umum dari suatu nash yang shahih yang menafikan seorang budak segala bidang.
Firman Allah SWT
"Allah telah membuat perumpaan (yakni) seorang budak yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun"....(Q.S. An-Nisa: 75)
Mengapa status budak tidak dapat mempusakai atau hak
waris mewarisi? hal tersebut disebabkan oleh:
1. tidak cakap dalam mengurs harta milik
2. status kekerabatan terhadap keluarganya sudah putus, dan ia diqiyaskan kepada orang asing. sedangkan mewarisi kepada orang asing itu batal sekali.
1. tidak cakap dalam mengurs harta milik
2. status kekerabatan terhadap keluarganya sudah putus, dan ia diqiyaskan kepada orang asing. sedangkan mewarisi kepada orang asing itu batal sekali.
2.5 Macam-Macam Ahli Waris Dan Bagianya
Ahli waris adalah orang-orang yang
berhak menerima bagian dari harta warisan. Ahli waris dapat di klasifikasikan
menjadi ahli waris sababiyah dan ahli waris nasabiyah. Ahli waris sababiyah
adalah orang yang berhak menerima bagian harta peninggalan karena terjadinya
hubungan perkawinan dengan orang yang meninggal yaitu suami atau isteri. Ahli
waris nasabiyah adalah orang berhak menerima harta peninggalan atau harta
warisan karena ada hubungan nasab atau pertalian darah atau keturunan dengan
orang yang meninggal dunia.
Dari segi jenis kelamin ahli waris di bagi menjadi dua jenis ahli waris
laki-laki dan ahli waris perempuan. Yang termasuk ahli waris laki-laki adalah:
1. Suami
2. Anak
laki-laki
3. Cucu
laki-laki
4. Bapak
5. Kakek
6. Saudara
laki-laki kandung
7. Saudara
laki-laki seayah
8. Saudara
laki-laki seibu
9. Anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung
10. Anak laki-laki saudara laki-laki
seayah
11. Paman sekandung dengan bapak
12. Paman seayah dengan bapak
13. Anak laki-laki paman sekandung
dengan bapak
14. Anak laki-laki paman seayah dengan bapak
15. Orang laki-laki yang memerdekakan
Jika semua
ahli waris di atas ada maka yang mendapatkan bagian harta warisan adalah :
1) suami; 2)
anak laki-laki dan 3)bapak.sedangkan yang lainnya terhalang.
Adapun ahli waris perempuan adalah istri
1. Anak
perempuan
2. Cucu
perempuan dari anak laki-laki sampai keatas selama masih dalam garis laki-laki
3. Ibu
4. Nenek (ibu
dari ibu sampai keatas selama tidak terselang dengan garis laki-laki)
5. Nenek (ibu
dari bapak)
6. Saudara
perempuan kandung.
7. Saudara
perempuan seayah
8. Saudara
perempuan seibu
9. Orang
perempuan yang memerdekakan
Jika seluruh
ahli waris perempuan ini semuanya ada maka yang mendapat bagian harta warisan
adalah : 1)isteri, 2)anak perempuan, 3)cucu perempuan dari anak laki-laki,
4)ibu, 5)saudara perempuan
kandung.sedangkan yang lainnya
terhalang.
Ahli waris
yang sama sekali tidak pernah gugur di antara semua orang ada lima orang ,
yaitu:
1. Suami
2. Istri
3. Ayah
4. Ibu
5. Anak
kandung, lelaki atau wanita.
Orang yang
tidak pernah berhak memperoleh warisan ada tujuh orang, yaitu:
1. Budak, baik
lelaki atau wanita
2. Budak
mudabbar
3. Umul walad
4. Budak
mukatab.
5. Pembunuh
6. Orang yang
murtad
7. Pemeluk dua
agama
Apabila dilihat dari bagiannya yang diterima, dapat
dibedakan :
1. Ahli waris ashab
al-furud, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang ditentukan besar
kecilnya yang dikenal sebagai Al-Furud Al-Muqadarah yang diatur dalam
Al-Qur’an 6 (enan) bagian, yaitu : 1/2 (setengah), 1/3 (sepertiga), 1/4
.(seperempat), 1/6 (seperenam), 1/8 (seperdelapan), 2/3 (duapertiga).
2. Ahli waris asabah,
yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah harta warisan dibagikan
kepada ahli waris ashab al-furud. Ahli waris ini ada 3 (tiga) macam,
yaitu :
a.
Asabah bin
nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima
bagian asabah, ahli waris kelompok ini semua laki-laki kecuali mu’tikah
(perempuan yang memerdekakan hamba sahayanya), mereka adalah anak laki-laki
dan cucu laki-laki dan garis laki-laki bapak, kakek dari garis bapak, saudara
laki-laki sekandung dan seayah anak laki-laki saudara laki-laki sekandung dan
seayah paman sekandung dan seayah, anak laki-laki paman sekandung dan seayah, mu’tiq
dan muti’qah.
b.
Asabah bi
al-gair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa, karena bersama dengan ahli
waris lain yang telah menerima bagian sisa. Mereka adalah anak laki-laki dan
perempuan, cucu perempuan, cucu perempuan garis lakil-laki bersama cucu
laki-laki garis laki-laki, saudara perempuan sekandung bersama saudara
laki-laki sekandung dan saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki
seayah.
c.
Asabah
ma’al-gair, yaitu ahli waris yang menerima bagian asabah, karena bersama
ahli waris lain yang bukan penerima bagian asabah, apabila ahli waris
lain tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu.. Mereka adalah saudara
perempuan sekandung karena bersama anak perempuan atau bersama cucu perempuan
garis laki-laki dan saudara perempuan seayah bersama dengan anak atau dengan
cucu perempuan.
3. Ahli waris Zawi
Al-Arham, yaitu ahli waris karena hubungan darah tetapi menurut ketentuan Al-Qur’an tidak berhak menerima warisan. Adapun perincian Furud
Al-Muqadarah dan ahli waris yang menerima (ashab alfurud) adalah
sebagai berikut :
a.
Ahli Waris
yang mendapatkan bagian 1/2 (setengah) :
·
Seorang anak perempuan, jika tidak
menjadi asabah bi al-gair sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat
An-Nisa Ayat 11.
·
Seorang cucu perempuan, bila tidak
bersama mua’sibnya dan anakperempuannya.
·
Saudara perempuan sekandung, bila
tidak terjadi asabah.
·
Saudara perempuan seayah, bila tidak
terjadi asabah, tidak bersamasaudara perempuan sekandung.
·
Suami bila tidak bersama far’un
mutlaq.
b.
Ahli waris
yang mendapatkan 1/4 (seperempat) :
·
Suami bila ada fur’un mutlaq,
sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 12.
·
Istri bila ada fur’un mutlaq,
sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 12.
c.
Ahli waris
yang mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian ini, hanya diberikan kepada isteri,
apabila meninggalkan anak, baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana firman
Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 12.
d.
Ahli waris
yang mendapatkan bagian dua pertiga (2/3) :
·
Dua anak perempuan atau lebih jika
tidak menjadi asabah bi al-gair, sebagaimana dalam firman Allah dalam
Surat An-Nisa Ayat 11.
·
Dua orang cucu perempuan atau lebih.
·
Dua orang bersaudara perempuan atau
lebih yang sekandung, bila tidak bersama mua’sibnya, sebagaimana firman
Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 176.
·
Dua orang saudara perempuan yang
sebapak jika tidak ada far’un perempuan
e. Ahli waris yang mendapatkan bagian sepertiga
(1/3) :
·
Ibu bila tidak ada anak laki-laki
maupun perempuan sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11.
·
Dua orang atau lebih saudara seibu
atau sebapak, baik lakilaki atau perempuan.
f. Ahli
waris yang mendapatkan seperenam (1/6) :
·
Bapak, bila tidak ada far’un, seperti
firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11.
·
Ibu jika ada far-un dan
saudara sekandung sebapak atau seibu, laki-laki atau perempuan, sebagaimana
firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11.
·
Kakek bila tidak ada bapak.
·
Nenek bila tidak ada ibu
·
Cucu perempuan bila ada seorang anak
perempuan,
·
Seorang saudara seibu (laki-laki
atau perempuan) bila si mati dalam keadaan kalala, yaitu tidak mempunyai anak
dan cucu (laki-laki ataupun perempuan) dan orang tua laki-laki, sebagaimana
firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11.
·
Saudara perempuan sebapak jika ada
saudara perempuan sekandung
2.6 Tatacara Pembagian Waris Dengan Aul Dan Radd
‘Aul dan radd adalah sistem
pembagian harta warisan yang lahir pada zaman
khalifah
Umar bin Khattab dan berkembang serta tetap dipertahankan sampai saat ini.
Sistem ini sangat terkenal karena dengan
sistem ini salah satu persoalan hukum waris yang sebelumnya sulit untuk
diselesaikan dapat dengan mudah diselesaikan. Akan tetapi belakangan ini
diketahui bahwa sistem ini banyak mengandung kelemahan terutama bila
diselaraskan dengan rumus- rumus matematika.
Dalam kitab-kitab faraidh ulama selalu menetapkan urutan para ahli waris
itu adalah suami atau isteri, ayah, ibu, anak (baik laki-laki maupun perempuan)
baru kemudian ahli waris yang lainnya. Porsi masing-masing ahli waris telah
diatur secara jelas dalam Al-Quran. Jika Pewaris mempunyai anak, suami mendapat
1/4 bagian, isteri 1/8 bagian, ayah 1/6 bagian dan ibu juga 1/6 bagian
sedangkan anak tidak diatur. Sebaliknya jika Pewaris tidak mempunyai anak, suami mendapat 1/2 bagian, isteri 1/4
bagian dan ibu 1/3 bagian sedangkan ayah
tidak diatur. Untuk yang tidak diatur para ulama berpendapat sama yaitu menerima sisanya. Diluar porsi tersebut ada lagi ketentuan
bagian anak laki-laki dua kali anak perempuan dan porsi anak perempuan jika
seorang ½ bagian namun jika lebih dari seorang mereka mendapat 2/3 bagian.
Aul menurut bahasa (etimologi) berarti irtifa’ atau mengangkat. Kata aul ini kadang-kadang
cenderung kepada perbuatan aniaya (curang). Secara istilah aul adalah
bertambahnya bagian dzawil
furudh
dan berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Atau bertambahnya jumlah
bagian yang di tentukan dan berkurangnya bagian masing-masing waris. Terjadinya masalah aul adalah
apabila terjadi angka pembilang lebih besar dari angka penyebut (misalnya 8/6),
sedangkan biasanya harta selalu dibagi dengan penyebutnya, namun apabila hal
ini dilakukan akan terjadi kesenjanagn pendapatan, dan sekaligus menimbulkan
persoalan, yaitu siapa yang lebih ditutamakan dari pada ahli waris tersebut.[9]
Radd secara bahasa (etimologi) berarti I’aadah atau mengembalikan. Mengembalikan haknya
kepada yang berhak. Kata radd juga berarti sharf yaitu
memulangkan kembali. Radd menurut istilah (terminologi) adalah mengembalikan
apa yang tersisa dari bagian dzawul furudh nasabiyah kepada mereka
sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka apabila tidak ada orang lain yang
berhak untuk menerimanya. Masalah radd terjadi apabila pembilangan lebih
kecil dari pada penyebut ( 23/24), dan pada dasarnya adalah merupakan kebalikan
dari masalah aul. Namun demikian penyelesaian masalahnya tentu berbeda
denga masalah aul, karena aul pada dasarnya kurangnya yang akan dibagi,
sedangkan pada rad ada kelebihan setelah diadakan pembagia
2.7 Gharrawin, Musyarakah Dan Akhdariyah
Secara
bahasa Gharrawain berasal dari kata
“Garra” artinya tipuan. Menurut Abdul Al-rahim dalam masalah tersebut terjadi
“penipuan” kepada ahli waris (Ibu). Dalam ketentuannya ibu menerima 1/3 bagian,
tetapi dalam kenyataan ia menerima 1/4 bagian dari harta peninggalan, atau
bahkan hanya 1/6 bagian. Penyebutan penerimaan bagian 1/3, karenanya dimaksud
sebagai penghormatan terhadap Al-Qur’an yang mengatur demikian.
Ulama lain
mengatakan Garrawain sebagai bentuk benda (lasniyah) dari Garra yang artinya
bintang cemerlang, disebut demikian karena masalah ini cemerlang bagaikan
bintang . Jadi apakah suatu kasus warisan itu merupakan kasus Al Gharrawain
atau tidak diketahui setelah siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris dari si
meninggal dam kemudian siapa-siapa yang terhijab dan ternyata ahli waris yang
berhak untuk mendapat warisan hanyalah terdiri dari :
1. Suami, 2.
Ibu,3. Ayah Atau 1. Istri, 2. Ibu,
3. Bapak
Prinsip
dasarnya adalah bahwa ibu menerima 1/3 dan bapak sisanya (2/9), dengan kata
lain, bagian laki-laki dua kali bagian perempuan (Li-al-zakari misl hazz
al-unsayain) keadaan ini tetap berlaku manakala ibu dan bapak bersama-sama
dengan ahli waris suami atau istri. Jadi setelah bagian suami atau istri
diserahkan, ibu menerima 1/3 dan bapak sisanya.
Jumhur ulama
mengatakan bahwa lafadz 1/3 dalam ayat 11 annisa’ sehubungan dengan hak ibu
harus ditakwilkan (diinterpretasikan lebih lanjut) yaitu 1/3 sisa harta apabila
ahli waris terdiri dari ayah, ibu, suami atau ayah ibu dan istri. Alasan mereka
adalah jika tidak dilakukan seperti itu maka ibu akan menerima lebih besar
daripada bagian ayah dengan cara takwil ini ayah menerima hak dua kali hak ibu.
Penakwilan ini dilakukan karena susunan ahli waris tidak sebagaimana yang
disebutkan dalam zahir ayat al-qur’an.
Dari segi
bahasa, Musyarakah atau syarikah
secara bahasa artinya yang diserikatkan maksudnya percampuran harta milik orang
yang berlainan sehingga tidak dapat dibedakan antara satu sama lain.Dari segi
istilah, musyarakah adalah perjanjian yang disetujui antara 2 pihak atau lebih
sebagai rakan kongsi untuk berkongsi modal dan keuntungan dalam suatu
perniagaan atau perusahaan. Sekiranya perusahaan mengalami kerugian, maka pembagian
kerugian haruslah berdasarkan modal masing-masing yang dikontribusikan. Majelis
Penasihat Syariah Bank Negara telah memutuskan bahawa produk pembiayaan
berasaskan kontrak musyarakah adalah dibenarkan selagi tiada elemen jaminan
modal dan/atau keuntungan oleh anggota kongsi ke atas anggota kongsi yang lain.
Keputusan tersebut adalah berdasarkan beberapa dalil
keharusan musyarakah :
Firman Allah dalam Surah Saad : 24 ayat 35
Artinya : “...dan sesungguhnya kebanyakan dari orang yang bergaul itu, setengahnya berlaku zalim kepada setengahnya yang lain, kecuali orang yang beriman dan beramal soleh, sedang mereka amatlah sedikit...”
Artinya : “...dan sesungguhnya kebanyakan dari orang yang bergaul itu, setengahnya berlaku zalim kepada setengahnya yang lain, kecuali orang yang beriman dan beramal soleh, sedang mereka amatlah sedikit...”
Apabila
Rasulullah SAW dilantik sebagai utusan Allah SWT, masyarakat Arab telah
menjalankan mua`malah secara musyarakah dan Rasulullah SAW membenarkannya
seperti sabda Baginda Rosul:
“Pertolongan Allah SWT ke atas dua orang yang bersyarikat adalah selagi mana salah seorang daripada kedua-duanya tidak mengkhianati rakan kongsinya. Sekiranya salah seorang mengkhianati rakan kongsinya maka Allah SWT akan mengangkat pertolonganNya daripada kedua-duanya.” Mu’assasah al-Risalah, Hadist no. 2934.
“Pertolongan Allah SWT ke atas dua orang yang bersyarikat adalah selagi mana salah seorang daripada kedua-duanya tidak mengkhianati rakan kongsinya. Sekiranya salah seorang mengkhianati rakan kongsinya maka Allah SWT akan mengangkat pertolonganNya daripada kedua-duanya.” Mu’assasah al-Risalah, Hadist no. 2934.
Akhdariyah
artinya mengeruhkan atau menyusahkan, yaitu kakek yang menyusahkan saudara
perempuannya dalam pembagian warisan. Hal initerjadi jika ahli waris terdiri
dari suami, ibu, saudara perempuan kandung atau seayah dan kakek. Bila hal ini
diselesaikan dengan kaidah yang umum, maka dapat diketahui bahwa bagian kakek
lebih kecil daripada saudara perempuan. Padahal kakek dan saudara perempuan
memiliki kedudukan yang sama dalam susunan ahli waris. Bahkan jika diamati
kakek adalah garis keturunan dari ayah atau laki-laki, yang biasanya memperoleh
bagian yang lebih banyak daripada perempuan.
2.8 Bagian Anak Dalam Kandungan
Setiap bayi yang lahir kedunia dalam
keadaan hidup berhak menerima warisan dari ayahnya yang meninggal. Seperti
sabda Rasulullah saw. : “ Jika anak
dilahirkan berteriak, maka ia diberi warisan .” Dan adapun permasalahan
tentang waris yang menyangkut anak yang masih berada dalam kandungan yaitu :
·
Apakah janin yang masih dalam kandungan tersebut ada hubungan
kekerabatan dengan orang yang meninggal tersebut, maka perlu diperhatikan juga
tenggang waktu antara akad nikah dengan usia kandungan.
·
Belum bisa dipastikanya jenis kelamin dan jumlah bayi yang ada dalam
kandungan tersebut.
·
Belum bisa dipastikan pula, apakah janin tersebut akan lahir dalam
keadaan hidup atau mati.
Dan para ahli sepakat dalam mengatasi masalah seperti ini dapat
dilakukan dengan para ahli waris yang ada mengambil bagian dengan jumlah paling
minimal dari kemungkinan-kemungkinan yang bias terjadi atau apabila harta
warisan dapat dijaga dan pembagianya tidak mendesak, maka pembagian warisan
ditunda sampai bayi lahir.
Sementara itu yang dimaksud dengan orang hilangdisiniadalah orang yang
tidak diketahui keberadaanya dalam jangka waktu yang relative lama. Orang
hilang tersebut bias sebagai muwaris maupun ahli waris, maka dapat dilakukan
hal berikut :
Apabila kedudukanya sebagai muwaris :
·
Harta yang hilang sebaiknya ditahan sampai ada kepastian tentang
keberadaan muwaris atau kepastian tentang keadaanya (hidup atau mati)
·
Ditunggu sampai batas usia manusia pada umumnya. Menurut Abdul Hakim
ditunggu sampai batas usia kurang lebih 70 tahun
2.9 Pembagian Harta Bersama
Salah satu masalah hukum yang
sering dihadapi oleh para isteri yang sedang menempuh proses perceraian atau
sudah bercerai dengan suaminya adalah tidak adilnya pembagian harta bersama
atau yang biasa juga disebut harta gono-gini.
Harta bersama (gono-gini) adalah harta benda atau hasil
kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta
tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak atas
harta bersama. Jadi,harta bersama meliputi harta yang diperoleh dari usaha
suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Ini berarti baik
suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas harta bersama dan
segala tindakan hukum atas harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah
pihak. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan
kewajiban), benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga.
Sepanjang tidak diatur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi
perceraian maka masing-masing pihak isteri maupun suami berhak atas separuh (seperdua) dari harta bersama. Menurut hukum perkawinan
yang berlaku (Undang-Undang No 1 thn 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam), harta kekayaan yang dimiliki sebelum perkawinan (harta bawaan)
tidak termasuk dalam harta bersama kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan. Dengan demikian, pada dasarnya, harta bawaan suami tetap menjadi
milik suami dan harta bawaan istri tetap menjadi milik istri. Selain itu,
mahar, warisan, hadiah dan hibah yang didapat selama perkawinan bukanlah harta
bersama
Jika tidak menghendaki harta
kekayaan yang diperoleh
selama masa perkawinan menjadi harta bersama, maka harus
membuat perjanjian perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.
Hal-hal yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan diantaranya, adalah :
a) Ketentuan pembagian harta bersama termasuk prosentase
pembagian harta bersama jika terjadi perceraian;
b) Pengaturan atau penanganan urusan keuangan keluarga
selama perkawinan berlangsung;
c) Pemisahan harta selama perkawinan berlangsung, artinya
harta yang anda peroleh dan harta suami terpisah sama sekali.
2.10 Hikmah Pembagian Harta Waris
o
Menghindari
terjadinya persengketaan dalam keluarga karena masalah pembagian harta warisan
o
Menghindari
timbulnya fitnah, dikarenakan penbagian harta warisan yang tidak benar
o
Dapat
mewujudkan keadilan dalam keluarga, yang kemudian berdampak positif bagi
keadilan dalam masyarakat
o
Memperhatikan
oranng-orang yang terkena musibah karena ditinggalkan oleh keluarganya
o
Menjunjung
tinggi hukum Allah dan sunah Rasul
o Mendistribusikan harta
peninggalan secara adil dan merata kepada para pihak anggota keluarga yang
menjadi ahli waris.
o Menghindarkan diri dari
perselisihan dan perpecahan, bahkan pertengkaran akibat rebutan harta
peninggalan.
o Dapat memahami
hukum-hukum alloh yang berkaitan dengan pembagian harta peninggalan.
o Terhindar adanya
kelangkaan orang yang faham dalam pembagian harta warisan di suatu tempat.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
§ Mendistribusikan harta peninggalan
secara adil dan merata kepada para pihak anggota keluarga yang menjadi ahli
waris.
§ Menghindarkan diri dari perselisihan dan
perpecahan, bahkan pertengkaran akibat rebutan harta peninggalan.
§ Dapat memahami hukum-hukum alloh yang
berkaitan dengan pembagian harta peninggalan.
§ Terhindar adanya kelangkaan orang yang
faham dalam pembagian harta warisan di suatu tempat.
§ Sistem pembagian harta warisan aul dan radd dalam
hukum Islam banyak kerancuan sehingga menimbulkan berbagai kekeliruan dalam
penghitungan pembagian warisan.
§ Sistem pembagian harta warisan aul dan radd bukan
bawaan kitab Al-Quran dan bukan pula petunjuk yang diberikan oleh nabi Muhammad
SAW melainkan salah satu solusi yang diambil oleh Umar bin Khattab ketika
timbul permasalahan waris pada masa pemerintahannya.
§ Semua orang muslim wajib mempelajari ilmu mawaris, Ilmu
mawaris sangat penting dalam kehidupan manusia khususnya dalam keluarga karena
tidak semua orang yang ditinggal mati oleh seseorang akan mendapatkan warisan.
§ Hal yang perlu diperhatikan apabila kita orang muslim
mengetahui pertalian darah, hak dan pembagiannya apabila mendapatkan warisan
dari orang tua maupun orang lain.
3.2 Saran
§ Bagi para pembaca setelah membaca makalah ini diharapkan
lebih memahami mawaris dalam kehidupan keluarga maupun orang lain sesuai dengan
ajaran agama islam dimana hukum memahami mawaris adalah fardhu kifayah.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr.
Syafruddin Amir, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Kencana Jakartaa
Dr. Rahman
Facthur, 1975, Ilmu Waris, PT. Al Ma’arif, Bandung
Drs. Rafiq
Ahcmad, M.A, 1995, Fiqih Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
K. Lubis
Suharwadi, SH, 2008. Hukum Waris
H. Muh.
RifaI,1996,Fiqh Mawaris,semarang : sayid sabiq,fiqih sunnah,Beirut: Darut fikr
Al-Quran
QS.An-Nisa ‘:7 dan 11
Al Hadist : HR Jamaah, HR.Ahmad dan Abu Daud
Makalah: dasar hukum waris islamGenerasi yang lebih baik, melangkah untuk maju:
Makalah Sitem Pembagian Waris Menurut Hukum Islam dan BWHikmah hukum mawaris ~ FiqihCAHAYA IMAN » Hikmah Dibalik Hukum Allah (2) – Hukum
Pembagian WarisanHikmah Pembagian Harta Kewarisan Dalam Islam - HM.
Mawardi Muzamil, SH., S.E., M.M.,Sp.N