Makalah FIQIH Waris

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Tatkala seseorang meninggal dunia walaupun tanggungan pribadinya tidak bisa dialihkan kepada orang lain, akan tetapi yang berkaitan dengan harta benda bisa beralih kepada oranng lain yang ditinggalkanya. Dan hukum peralihan harta peninggalan inilah dalam islam yang biasa disebut dengan mawaris atau ilmu faraid.
Hukum islam telah menerangkan dan mengatur hal-hal ketentuan yang berkaitan dengan penbagian harta waris dengan aturan yang sangat adil sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Al-Quran dan hadist. Dalam hukum waris ini telah ditetapkan dengan rinci bagian masing-masing ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan mulai dari bapak, ibu, kakek, nenek, suami, istri, anak, saudara dan seterusnya. Adapun ketetapan waris ditetapkan pula dalam hadis dan Ijma’ Ulama’. Di dalam Al Quran, hanya hukum warislah yang mendapat penjelasan rinci, sebab warisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dalam islam, serta dibenarkan adanya oleh Allah SWT.
Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata).
Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan.
Oleh karenanya, dalam pembagian warisan harus di lihat terlebih dahulu hukum yang mana yang akan di gunakan oleh para ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris yang terjadi.

Mewaris memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia, sebab mewaris pada jaman Arab jahiliyah sebelum islam datang membagi harta warisan kepada orang
laki-laki dewasa sedangkan kaum perempuan dan anak-anak yang belum dewasa tidak mendapatkan bagian.
Dapat dikembangkan bahwa orang yang memiliki pertalian darah, perkawinan yang sah baik itu suami/istri, anak laki-laki maupun perempuan bisa mendapatkan warisan. Hal ini yang menimbulkan permasalahan dimana kebanyak orang memiliki anak laki untuk mendapatkan warisan seperti jaman jahiliyah sebelum masuknya islam. Hal ini diakibatkan kurangnya pengetahuan mengenai mewarisi.
Oleh karena itu kita harus mengerti dan paham masalah waris mewarisi, hak waris dan lain-lain agar dapat kita terapkan di dalam keluarga.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apakah penngertian dan hukum waris ?
1.2.2        Apakah tujuan dan kedudukan mewarisi ?
1.2.3        Apakah sebab-sebab terjadinya waris ?
1.2.4        Apakah yang menjadi halangan waris ?
1.2.5        Siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagianya ?
1.2.6        Bagaimana tatacara pembagian waris berdasarkan Aul dan Radd ?
1.2.7        Apakah yang dimaksud dengan gharrawin, musyarakah dan akhdariyah ?
1.2.8        Berapa bagian anak dalam kandungan dan orang hilang ?
1.2.9        Bagaimana tatacara pembagian harta bersama ?
1.2.10    Apakah hikmah dari pembagian waris ?
1.3  Tujuan
1.3.1        Menjelaskan pengertian dan hukum ilmu waris
1.3.2        Menjelaskan tujuan dan kedudukan ilmu waris
1.3.3        Menjelaskan sebab-sebab waris mewarisi
1.3.4        Menjelaskan halangan waris mewarisi
1.3.5        Menjelaskan macam-macam ahli waris dan bagianya
1.3.6        Menjelaskan tentang tatacara pembagian waris dengan Aul dan Radd
1.3.7        Menjelaskan masalah gharrawin, musyarakah dan akhdariyah
1.3.8        Menjelaskan bagian anak dalam kandungan dan orang hilang
1.3.9        Menjelaskan tentang pembagian harta bersama
1.3.10    Menjelaskan hikmah pembagian warisan



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Dan Hukum Waris
                    Mawaris dari segi bahasa adalah harta yang di wariskan, dari segi istilah yaitu ilmu tentang pembagian harta peninggalan setelah seseorang meninggal dunia. Ilmu mawaris ndi sebut juga ilmu faroid yang artinya ketentuan. Dari segi istilah faroid adalah ilmu tentang membagi harta peninggalan seseorang setelah meninggal dunia. Dengan kata lain dapat di rumuskan ilmu faroid atau mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan pembagian harta pusakabagi ahli waris menurut hukum islam
Adapun sumber hukum ilmu mawaris adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul bukan bersumber kepada pendapat seseorang yang terlepas dari jiwa Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah mawaris antara lain:
Artinya: bagi laki-laki ada bagian dari harta yang di tinggalkan oleh ibu-bapak dan kerabatnya. Dan bagi wanita ada bagian dari harta yang di tinggalkan oleh ibu bapak dan kerabatnya baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah di tetapkan. (An Nisa’:7)
            Adapun dasar hukum waris yang berasal dari sunnah Rasul antara lain:
Artinya :bagi seorang yang membunuh tidak mendapat hak waris (HR.An Nasai)
            Rukun waris adalah :
1.      Orang yang mewarisi
2.      Ahli waris
3.      Harta waris
4.      Ijab qobul

2.2 Tujuan Dan Kedudukan Ilmu Waris
Tujuan ilmu mawaris adalah membagi harta warisan sesuai dengan ketentuan Nash (Al-Qur’an dan Sunnah) sesuai dengan keadilan sosial dan tugas serta tanggung jawab masing-nasing ahli waris.lmu mawaris merupakan ilmu yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama islam, karena berisi penjelasan tentang ketentuan dan aturan Allah AWT dalam pembagian harta warisan yang harus dijadikan pedoman umat islam, semua ketentuan ini berasal dari Allah SWT Dzat yang maha tahu sedangkan manusia tidak mengetahui hakikat sesuatu, sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: “Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana “ (QS. An-Nisa11)

2.3 Sebab-Sebab Mewarisi
Tidak semua orang dapat waris mewarisi terhadap yang lain. Tetapi karena sebab-sebab tertentu yang di atur oleh syari’at islam. Maka seseorang dengan orang lain dapat waris mewarisi.
Adapun sebab-sebab seseorang dapat mewarisi orang yang meninggal itu adalah karena:
1. Pertalian darah atau nasab (nasab haqiqi)
2. Perkawinan yang sah(persemendaan)
3. Pemerdekaan / wala’ (nasab hukmi)
            Yang dimaksud dengan pertalian darah (nasab haqiqi)adalah orang yang akan mewarisi itu ada hubungan darah dengan si mayat misalnya ayah, ibu,cucu,saudara dan sebagainya.
Sedangkan yang di maksud dengan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang di lakukan dengan memenuhi segala syarat hukum perkawinan yang di atur dalam agama islam. Dengan adanya perkawinan itu maka seorang istri atau suami yang sebelumnya tidak ada hak waris mewarisi menjadi dapat waris mewarisi di antara keduanya.
            Adapun yang di maksud dengan wala’ atau pemerdekaan adalah bila seseorang memerdekakan seorang hamba sahaya maka meskipun antara mereka tidak ada hubungan darah mereka dapat saling mewarisi.bukan nasab yang sebenarnya kalau seseorang tidak mempunyai ahli waris,maka harta peninggalanya di serahkan kepada bait al-mal untuk kepentingan umat islam.

2.4 Halangan Mewarisi
Penghalang waris mewarisi yaitu suatu tindakan atau hal-hal yang dapat menghilangkan atau menggugurkan hak seseorang sebagai hak ahli waris atau sebagai hak pewaris menurut hukum syara.aga
Adapun penghalang hak waris mewarisi,yaitu:
1. Berbeda Agama / Kafir / Murtad
Berbeda agama berarti berbeda i'tiqad atau keyakinan, menurut hukum syara seorang muslim tidak boleh saling waris mewarisi dengan orang kafir atau orang murtad, sebagaimna rasululloh bersabda, "seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi seorang muslim"(Hadits Riwayat Bukhari).
2.Pembunuhan
Adapun pengertian pembunuhan secara umum adalah suatu perbuatan dosa terbesar di bawah kufur, yakni menghilangkan nyawa seseorang, baik sendiri maupun membunuh secara masal, denga alat yang mematikan, baik yang berbentuk materi ataupun berbentuk non materi.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa pembunuhan gugurnya hak waris atau mewarisi, seperti:
a. Pembunuhan sengaja
b. Pembunuhan tersalah
c. Diputuskan selaku pembunuh

Rasululloh SAW bersabda:"barang siapa yang membunuh seseorang korban, maka, ia tidak dapat mempusakainya, walaupun sikorban tidak mempunyai pewaris selainnya dan jika sikorban itu bapaknya atau anaknya, maka bagi pembunuhan tidak berhak menerima harta peninggalan"(Hadits riwayat ahmad).
3. Status Budak
Persoalan masalah budak di zaman sekarang sungguh sulit karena ajaran islam sudah menghapus tentang perbudakan, namun, dengan mempelajari hukum waris, kita akan mengetahui bahwa dulu masalah perbudakan ada.Dalam hukum syara, kita harus bisa memahami persolan status budak yang terhalang menerima hak waris.
Macam-macam budak :
a. Budak qin
   Hamba sahaya/amat yang mutlak kehambaannya atas tuannya.
b. Budakmudabbar
  Hamba sahaya/amat yang bebas atau merdeka menunggu kematian tuannya.
c. Budak mukatab
  Hamba sahaya/amat yang ingin merdeka dengan cara dibayar pada tuannya.
d. Budak maba'adl
  Hamba sahaya/amat yang separuh dari dirinya sudah merdeka.
e. Budak mu'alaq
  Hamba sahaya/amat yang kemerdekaannya digantungkan dengan sesuatu sifat atau        yang lainnya.
f. Budak musha bi ithqihi
  Hamba sahaya/amat yang kemerdekaannya disebabkan adanya wasiat dari tuannya.
g. Ummu walad
  Hamba sahaya/amat yang mempunyai keturunan dari tuannya.

Semua hamba sahaya/amat tidak berhak menerima waris, kecuali budak muba'adl ketika mati mawariskan tapi tidak mempunyai hak menerima waris.
Ulama ahli fara'id sepakat bahwa status budak menjadi penghalang waris mewarisi, hal ini didasarkan adanya petunjuk umum dari suatu nash yang shahih yang menafikan seorang budak segala bidang.
Firman Allah SWT
   "Allah telah membuat perumpaan (yakni) seorang budak yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun"....(Q.S. An-Nisa: 75)
Mengapa status budak tidak dapat mempusakai atau hak waris mewarisi? hal tersebut disebabkan oleh:
1. tidak cakap dalam mengurs harta milik
2. status kekerabatan terhadap keluarganya sudah putus, dan ia diqiyaskan kepada orang asing. sedangkan mewarisi kepada orang asing itu batal sekali. 

2.5 Macam-Macam Ahli Waris Dan Bagianya
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima bagian dari harta warisan. Ahli waris dapat di klasifikasikan menjadi ahli waris sababiyah dan ahli waris nasabiyah. Ahli waris sababiyah adalah orang yang berhak menerima bagian harta peninggalan karena terjadinya hubungan perkawinan dengan orang yang meninggal yaitu suami atau isteri. Ahli waris nasabiyah adalah orang berhak menerima harta peninggalan atau harta warisan karena ada hubungan nasab atau pertalian darah atau keturunan dengan orang yang meninggal dunia.
            Dari segi jenis kelamin ahli waris di bagi menjadi dua jenis ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Yang termasuk ahli waris laki-laki adalah:


1.     Suami
2.     Anak laki-laki
3.     Cucu laki-laki
4.     Bapak
5.     Kakek
6.     Saudara laki-laki kandung
7.     Saudara laki-laki seayah
8.     Saudara laki-laki seibu
9.     Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
10.  Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
11.  Paman sekandung dengan bapak
12.  Paman seayah dengan bapak
13.  Anak laki-laki paman sekandung dengan bapak
14. Anak laki-laki paman seayah dengan bapak
15.  Orang laki-laki yang memerdekakan




Jika semua ahli waris di atas ada maka yang mendapatkan bagian harta warisan adalah :
1) suami; 2) anak laki-laki dan 3)bapak.sedangkan yang lainnya terhalang.
Adapun ahli waris perempuan adalah istri


1.     Anak perempuan
2.     Cucu perempuan dari anak laki-laki sampai keatas selama masih dalam garis laki-laki
3.     Ibu
4.     Nenek (ibu dari ibu sampai keatas selama tidak terselang dengan garis laki-laki)
5.     Nenek (ibu dari bapak)
6.     Saudara perempuan kandung.
7.     Saudara perempuan seayah
8.     Saudara perempuan seibu
9.     Orang perempuan yang memerdekakan



Jika seluruh ahli waris perempuan ini semuanya ada maka yang mendapat bagian harta warisan adalah : 1)isteri, 2)anak perempuan, 3)cucu perempuan dari anak laki-laki, 4)ibu,  5)saudara perempuan kandung.sedangkan yang lainnya terhalang.           

Ahli waris yang sama sekali tidak pernah gugur di antara semua orang ada lima orang , yaitu:


1.     Suami
2.     Istri
3.     Ayah
4.     Ibu
5.     Anak kandung, lelaki atau wanita.






Orang yang tidak pernah berhak memperoleh warisan ada tujuh orang, yaitu:


1.     Budak, baik lelaki atau wanita
2.     Budak mudabbar
3.     Umul walad
4.     Budak mukatab.
5.     Pembunuh
6.     Orang yang murtad
7.     Pemeluk dua agama






Apabila dilihat dari bagiannya yang diterima, dapat dibedakan :
1.   Ahli waris ashab al-furud, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang ditentukan besar kecilnya yang dikenal sebagai Al-Furud Al-Muqadarah yang diatur dalam Al-Qur’an 6 (enan) bagian, yaitu : 1/2 (setengah), 1/3 (sepertiga), 1/4 .(seperempat), 1/6 (seperenam), 1/8 (seperdelapan), 2/3 (duapertiga).
2.   Ahli waris asabah, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah harta warisan dibagikan kepada ahli waris ashab al-furud. Ahli waris ini ada 3 (tiga) macam, yaitu :
a.       Asabah bin nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian asabah, ahli waris kelompok ini semua laki-laki kecuali mu’tikah (perempuan yang memerdekakan hamba sahayanya), mereka adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dan garis laki-laki bapak, kakek dari garis bapak, saudara laki-laki sekandung dan seayah anak laki-laki saudara laki-laki sekandung dan seayah paman sekandung dan seayah, anak laki-laki paman sekandung dan seayah, mu’tiq dan muti’qah.
b.      Asabah bi al-gair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa, karena bersama dengan ahli waris lain yang telah menerima bagian sisa. Mereka adalah anak laki-laki dan perempuan, cucu perempuan, cucu perempuan garis lakil-laki bersama cucu laki-laki garis laki-laki, saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
c.       Asabah ma’al-gair, yaitu ahli waris yang menerima bagian asabah, karena bersama ahli waris lain yang bukan penerima bagian asabah, apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu.. Mereka adalah saudara perempuan sekandung karena bersama anak perempuan atau bersama cucu perempuan garis laki-laki dan saudara perempuan seayah bersama dengan anak atau dengan cucu perempuan.
3.      Ahli waris Zawi Al-Arham, yaitu ahli waris karena hubungan darah tetapi menurut ketentuan Al-Qur’an tidak berhak menerima warisan. Adapun perincian Furud Al-Muqadarah dan ahli waris yang menerima (ashab alfurud) adalah sebagai berikut :
a.       Ahli Waris yang mendapatkan bagian 1/2 (setengah) :
·         Seorang anak perempuan, jika tidak menjadi asabah bi al-gair sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa Ayat 11.
·         Seorang cucu perempuan, bila tidak bersama mua’sibnya dan anakperempuannya.
·         Saudara perempuan sekandung, bila tidak terjadi asabah.
·         Saudara perempuan seayah, bila tidak terjadi asabah, tidak bersamasaudara perempuan sekandung.
·         Suami bila tidak bersama far’un mutlaq.
b.      Ahli waris yang mendapatkan 1/4 (seperempat) :
·         Suami bila ada fur’un mutlaq, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 12.
·         Istri bila ada fur’un mutlaq, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 12.
c.       Ahli waris yang mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian ini, hanya diberikan kepada isteri, apabila meninggalkan anak, baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 12.
d.      Ahli waris yang mendapatkan bagian dua pertiga (2/3) :
·         Dua anak perempuan atau lebih jika tidak menjadi asabah bi al-gair, sebagaimana dalam firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11.
·         Dua orang cucu perempuan atau lebih.
·         Dua orang bersaudara perempuan atau lebih yang sekandung, bila tidak bersama mua’sibnya, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 176.
·         Dua orang saudara perempuan yang sebapak jika tidak ada far’un perempuan
e.  Ahli waris yang mendapatkan bagian sepertiga (1/3) :
·         Ibu bila tidak ada anak laki-laki maupun perempuan sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11.
·         Dua orang atau lebih saudara seibu atau sebapak, baik lakilaki atau perempuan.
f. Ahli waris yang mendapatkan seperenam (1/6) :
·      Bapak, bila tidak ada far’un, seperti firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11.
·      Ibu jika ada far-un dan saudara sekandung sebapak atau seibu, laki-laki atau perempuan, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11.
·      Kakek bila tidak ada bapak.
·      Nenek bila tidak ada ibu
·      Cucu perempuan bila ada seorang anak perempuan,
·      Seorang saudara seibu (laki-laki atau perempuan) bila si mati dalam keadaan kalala, yaitu tidak mempunyai anak dan cucu (laki-laki ataupun perempuan) dan orang tua laki-laki, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 11.
·      Saudara perempuan sebapak jika ada saudara perempuan sekandung

2.6 Tatacara Pembagian Waris Dengan Aul Dan Radd
            ‘Aul dan radd adalah sistem pembagian harta warisan yang lahir pada zaman
khalifah Umar bin Khattab dan berkembang serta tetap dipertahankan sampai saat ini. Sistem ini sangat terkenal  karena dengan sistem ini salah satu persoalan hukum waris yang sebelumnya sulit untuk diselesaikan dapat dengan mudah diselesaikan. Akan tetapi belakangan ini diketahui bahwa sistem ini banyak mengandung kelemahan terutama bila diselaraskan dengan rumus- rumus matematika.  Dalam kitab-kitab faraidh ulama selalu menetapkan urutan para ahli waris itu adalah suami atau isteri, ayah, ibu, anak (baik laki-laki maupun perempuan) baru kemudian ahli waris yang lainnya. Porsi masing-masing ahli waris telah diatur secara jelas dalam Al-Quran. Jika Pewaris mempunyai anak, suami mendapat 1/4 bagian, isteri 1/8 bagian, ayah 1/6 bagian dan ibu juga 1/6 bagian sedangkan anak  tidak diatur.  Sebaliknya jika Pewaris tidak mempunyai  anak, suami mendapat 1/2 bagian, isteri 1/4 bagian dan  ibu 1/3 bagian sedangkan ayah tidak diatur. Untuk yang tidak diatur para ulama berpendapat sama  yaitu menerima sisanya.  Diluar porsi tersebut ada lagi ketentuan bagian anak laki-laki dua kali anak perempuan dan porsi anak perempuan jika seorang ½ bagian namun jika lebih dari seorang mereka mendapat 2/3 bagian.
            Aul menurut bahasa (etimologi) berarti irtifa’ atau mengangkat. Kata aul ini kadang-kadang cenderung kepada perbuatan aniaya (curang). Secara istilah aul adalah bertambahnya bagian dzawil furudh dan berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Atau bertambahnya jumlah bagian yang di tentukan dan berkurangnya bagian masing-masing waris. Terjadinya masalah aul adalah apabila terjadi angka pembilang lebih besar dari angka penyebut (misalnya 8/6), sedangkan biasanya harta selalu dibagi dengan penyebutnya, namun apabila hal ini dilakukan akan terjadi kesenjanagn pendapatan, dan sekaligus menimbulkan persoalan, yaitu siapa yang lebih ditutamakan dari pada ahli waris tersebut.[9]

Radd secara bahasa (etimologi) berarti I’aadah atau mengembalikan. Mengembalikan haknya kepada yang berhak. Kata radd juga berarti sharf yaitu memulangkan kembali. Radd menurut istilah (terminologi) adalah mengembalikan apa yang tersisa dari bagian dzawul furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka apabila tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya. Masalah radd terjadi apabila pembilangan lebih kecil dari pada penyebut ( 23/24), dan pada dasarnya adalah merupakan kebalikan dari masalah aul. Namun demikian penyelesaian masalahnya tentu berbeda denga masalah aul, karena aul pada dasarnya kurangnya yang akan dibagi, sedangkan pada rad ada kelebihan setelah diadakan pembagia

2.7 Gharrawin, Musyarakah Dan Akhdariyah
        Secara bahasa Gharrawain berasal dari kata “Garra” artinya tipuan. Menurut Abdul Al-rahim dalam masalah tersebut terjadi “penipuan” kepada ahli waris (Ibu). Dalam ketentuannya ibu menerima 1/3 bagian, tetapi dalam kenyataan ia menerima 1/4 bagian dari harta peninggalan, atau bahkan hanya 1/6 bagian. Penyebutan penerimaan bagian 1/3, karenanya dimaksud sebagai penghormatan terhadap Al-Qur’an yang mengatur demikian.
Ulama lain mengatakan Garrawain sebagai bentuk benda (lasniyah) dari Garra yang artinya bintang cemerlang, disebut demikian karena masalah ini cemerlang bagaikan bintang . Jadi apakah suatu kasus warisan itu merupakan kasus Al Gharrawain atau tidak diketahui setelah siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris dari si meninggal dam kemudian siapa-siapa yang terhijab dan ternyata ahli waris yang berhak untuk mendapat warisan hanyalah terdiri dari :
1. Suami, 2. Ibu,3. Ayah Atau       1. Istri, 2. Ibu, 3. Bapak                                                         
Prinsip dasarnya adalah bahwa ibu menerima 1/3 dan bapak sisanya (2/9), dengan kata lain, bagian laki-laki dua kali bagian perempuan (Li-al-zakari misl hazz al-unsayain) keadaan ini tetap berlaku manakala ibu dan bapak bersama-sama dengan ahli waris suami atau istri. Jadi setelah bagian suami atau istri diserahkan, ibu menerima 1/3 dan bapak sisanya.
Jumhur ulama mengatakan bahwa lafadz 1/3 dalam ayat 11 annisa’ sehubungan dengan hak ibu harus ditakwilkan (diinterpretasikan lebih lanjut) yaitu 1/3 sisa harta apabila ahli waris terdiri dari ayah, ibu, suami atau ayah ibu dan istri. Alasan mereka adalah jika tidak dilakukan seperti itu maka ibu akan menerima lebih besar daripada bagian ayah dengan cara takwil ini ayah menerima hak dua kali hak ibu. Penakwilan ini dilakukan karena susunan ahli waris tidak sebagaimana yang disebutkan dalam zahir ayat al-qur’an.
Dari segi bahasa, Musyarakah atau syarikah secara bahasa artinya yang diserikatkan maksudnya percampuran harta milik orang yang berlainan sehingga tidak dapat dibedakan antara satu sama lain.Dari segi istilah, musyarakah adalah perjanjian yang disetujui antara 2 pihak atau lebih sebagai rakan kongsi untuk berkongsi modal dan keuntungan dalam suatu perniagaan atau perusahaan. Sekiranya perusahaan mengalami kerugian, maka pembagian kerugian haruslah berdasarkan modal masing-masing yang dikontribusikan. Majelis Penasihat Syariah Bank Negara telah memutuskan bahawa produk pembiayaan berasaskan kontrak musyarakah adalah dibenarkan selagi tiada elemen jaminan modal dan/atau keuntungan oleh anggota kongsi ke atas anggota kongsi yang lain.
Keputusan tersebut adalah berdasarkan beberapa dalil keharusan musyarakah :
 Firman Allah dalam Surah Saad : 24 ayat 35
Artinya : “...dan sesungguhnya kebanyakan dari orang yang bergaul itu, setengahnya berlaku zalim kepada setengahnya yang lain, kecuali orang yang beriman dan beramal soleh, sedang mereka amatlah sedikit...”
Apabila Rasulullah SAW dilantik sebagai utusan Allah SWT, masyarakat Arab telah menjalankan mua`malah secara musyarakah dan Rasulullah SAW membenarkannya seperti sabda Baginda Rosul:
“Pertolongan Allah SWT ke atas dua orang yang bersyarikat adalah selagi mana salah seorang daripada kedua-duanya tidak mengkhianati rakan kongsinya. Sekiranya salah seorang mengkhianati rakan kongsinya maka Allah SWT akan mengangkat pertolonganNya daripada kedua-duanya.” Mu’assasah al-Risalah, Hadist no. 2934.
        Akhdariyah artinya mengeruhkan atau menyusahkan, yaitu kakek yang menyusahkan saudara perempuannya dalam pembagian warisan. Hal initerjadi jika ahli waris terdiri dari suami, ibu, saudara perempuan kandung atau seayah dan kakek. Bila hal ini diselesaikan dengan kaidah yang umum, maka dapat diketahui bahwa bagian kakek lebih kecil daripada saudara perempuan. Padahal kakek dan saudara perempuan memiliki kedudukan yang sama dalam susunan ahli waris. Bahkan jika diamati kakek adalah garis keturunan dari ayah atau laki-laki, yang biasanya memperoleh bagian yang lebih banyak daripada perempuan.



2.8 Bagian Anak Dalam Kandungan
            Setiap bayi yang lahir kedunia dalam keadaan hidup berhak menerima warisan dari ayahnya yang meninggal. Seperti sabda Rasulullah saw. : “ Jika anak dilahirkan berteriak, maka ia diberi warisan .” Dan adapun permasalahan tentang waris yang menyangkut anak yang masih berada dalam kandungan yaitu :
·         Apakah janin yang masih dalam kandungan tersebut ada hubungan kekerabatan dengan orang yang meninggal tersebut, maka perlu diperhatikan juga tenggang waktu antara akad nikah dengan usia kandungan.
·         Belum bisa dipastikanya jenis kelamin dan jumlah bayi yang ada dalam kandungan tersebut.
·         Belum bisa dipastikan pula, apakah janin tersebut akan lahir dalam keadaan hidup atau mati.

                   Dan para ahli sepakat dalam mengatasi masalah seperti ini dapat dilakukan dengan para ahli waris yang ada mengambil bagian dengan jumlah paling minimal dari kemungkinan-kemungkinan yang bias terjadi atau apabila harta warisan dapat dijaga dan pembagianya tidak mendesak, maka pembagian warisan ditunda sampai bayi lahir.
                 Sementara itu yang dimaksud dengan orang hilangdisiniadalah orang yang tidak diketahui keberadaanya dalam jangka waktu yang relative lama. Orang hilang tersebut bias sebagai muwaris maupun ahli waris, maka dapat dilakukan hal berikut :
Apabila kedudukanya sebagai muwaris :
·         Harta yang hilang sebaiknya ditahan sampai ada kepastian tentang keberadaan muwaris atau kepastian tentang keadaanya (hidup atau mati)
·         Ditunggu sampai batas usia manusia pada umumnya. Menurut Abdul Hakim ditunggu sampai batas usia kurang lebih 70 tahun
2.9 Pembagian Harta Bersama
Salah satu masalah hukum yang sering dihadapi oleh para isteri yang sedang menempuh proses perceraian atau sudah bercerai dengan suaminya adalah tidak adilnya pembagian harta bersama atau yang biasa juga disebut harta gono-gini.
Harta bersama (gono-gini) adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi,harta bersama meliputi harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Ini berarti baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas harta bersama dan segala tindakan hukum atas harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan kewajiban), benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga. Sepanjang tidak diatur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian maka masing-masing pihak isteri maupun suami berhak atas separuh (seperdua) dari harta bersama. Menurut hukum perkawinan yang berlaku (Undang-Undang No 1 thn 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), harta kekayaan yang dimiliki sebelum perkawinan (harta bawaan) tidak termasuk dalam harta bersama kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dengan demikian, pada dasarnya, harta bawaan suami tetap menjadi milik suami dan harta bawaan istri tetap menjadi milik istri. Selain itu, mahar, warisan, hadiah dan hibah yang didapat selama perkawinan bukanlah harta bersama
        Jika tidak menghendaki harta kekayaan yang diperoleh selama masa perkawinan menjadi harta bersama, maka harus membuat perjanjian perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Hal-hal yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan diantaranya, adalah :
a) Ketentuan pembagian harta bersama termasuk prosentase pembagian harta bersama jika terjadi perceraian;
b) Pengaturan atau penanganan urusan keuangan keluarga selama perkawinan berlangsung;
c) Pemisahan harta selama perkawinan berlangsung, artinya harta yang anda peroleh dan harta suami terpisah sama sekali.

















2.10 Hikmah Pembagian Harta Waris
o   Menghindari terjadinya persengketaan dalam keluarga karena masalah pembagian harta warisan
o   Menghindari timbulnya fitnah, dikarenakan penbagian harta warisan yang tidak benar
o   Dapat mewujudkan keadilan dalam keluarga, yang kemudian berdampak positif bagi keadilan dalam masyarakat
o   Memperhatikan oranng-orang yang terkena musibah karena ditinggalkan oleh keluarganya
o   Menjunjung tinggi hukum Allah dan sunah Rasul
o   Mendistribusikan harta peninggalan secara adil dan merata kepada para pihak anggota keluarga yang menjadi ahli waris.
o   Menghindarkan diri dari perselisihan dan perpecahan, bahkan pertengkaran akibat rebutan harta peninggalan.
o   Dapat memahami hukum-hukum alloh yang berkaitan dengan pembagian harta peninggalan.
o   Terhindar adanya kelangkaan orang yang faham dalam pembagian harta warisan di suatu tempat.















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
§  Mendistribusikan harta peninggalan secara adil dan merata kepada para pihak anggota keluarga yang menjadi ahli waris.
§  Menghindarkan diri dari perselisihan dan perpecahan, bahkan pertengkaran akibat rebutan harta peninggalan.
§  Dapat memahami hukum-hukum alloh yang berkaitan dengan pembagian harta peninggalan.
§  Terhindar adanya kelangkaan orang yang faham dalam pembagian harta warisan di suatu tempat.
§  Sistem pembagian harta warisan aul dan radd dalam hukum Islam banyak kerancuan sehingga menimbulkan berbagai kekeliruan dalam penghitungan pembagian warisan.
§  Sistem pembagian harta warisan aul dan radd bukan bawaan kitab Al-Quran dan bukan pula petunjuk yang diberikan oleh nabi Muhammad SAW melainkan salah satu solusi yang diambil oleh Umar bin Khattab ketika timbul permasalahan waris pada masa pemerintahannya.
§  Semua orang muslim wajib mempelajari ilmu mawaris, Ilmu mawaris sangat penting dalam kehidupan manusia khususnya dalam keluarga karena tidak semua orang yang ditinggal mati oleh seseorang akan mendapatkan warisan.
§  Hal yang perlu diperhatikan apabila kita orang muslim mengetahui pertalian darah, hak dan pembagiannya apabila mendapatkan warisan dari orang tua maupun orang lain.

3.2 Saran
§  Bagi para pembaca setelah membaca makalah ini diharapkan lebih memahami mawaris dalam kehidupan keluarga maupun orang lain sesuai dengan ajaran agama islam dimana hukum memahami mawaris adalah fardhu kifayah.



DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Syafruddin Amir, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Kencana Jakartaa
Dr. Rahman Facthur, 1975, Ilmu Waris, PT. Al Ma’arif, Bandung
Drs. Rafiq Ahcmad, M.A, 1995, Fiqih Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
K. Lubis Suharwadi, SH, 2008. Hukum Waris
H. Muh. RifaI,1996,Fiqh Mawaris,semarang : sayid sabiq,fiqih sunnah,Beirut: Darut fikr
Al-Quran QS.An-Nisa ‘:7 dan 11
 Al Hadist : HR Jamaah, HR.Ahmad dan Abu Daud

Search This Blog

Powered by Blogger.

Labels

Popular Posts

Like Us