FILSAFAT: PERILAKU BUANG SAMPAH SEMBARANGAN DARI PERSPEKTIF ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI, DAN AKSIOLOGI

PERILAKU BUANG SAMPAH SEMBARANGAN DARI PERSPEKTIF ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI, DAN AKSIOLOGI


BAB 1. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Lingkungan akan terlihat lebih asri, jika setiap individu selalu menjaga kelestarian lingkungan yang merupakan tanggung jawab bersama, tidak bisa menggantungkan kepada salah satu pihak saja, pengelolaan, pemeliharaan dan kepedulian terhadap lingkungan menjadi sesuatu hal yang harus dilakukan oleh setiap individu. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian, menjaga lingkungan dari kerusakan yang sering kali disebabkan oleh manusia yang tidak bertanggung jawab yang demi menguntungkan diri sendiri dan mengorbankan dan mengakibatkan penderitaan pada umat manusia yang berkepanjangan, dengan perilaku manusia yang menggunduli hutan mengakibatkan ketersediaan air bersih di alam menjadi terbatas dan setiap musim kemarau selalu mengalami kekeringan, dan setiap musim hujan selalu kebanjiran. Dan dalam hal ini setiap orang tidak pandang itu pejabat Negara, pengusaha, dan rakyat biasa harus menjaga kelestarian lingkungan hidup demi masa depan.
Namun kenyataanya sekarang ini, masih banyak warga membuang sampah di sembarang tempat. Seakan-akan kegiatan buang sampah sembarangan ini sudah menjadi trend yang membudaya dimasyarakat masa kini. Jika dibiarkan terus menerus akan muncul sifat apatis dalam diri mereka, bersikap acuh tak acuh terhadap kebersihan lingkungan. Padahal pemerintah sudah mengeluarkan peraturan yang khusus membahas tentang sampah, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Namun dikarenakan kurangnya sosialisasi dari lembaga terkait membuat hal ini belum terlaksana di masyarakat luas, artinya undang-undang ini belum dapat ditegakkan di masyarakat.
Banyak masyarakat yang beralasan bahwa membuang sampah pada tempatnya itu repot, jauh dari tempat sampah, tempat sampahnya bau dan lain sebagainya. Namun itu semua hanyalah alasan semata. Dalam makalah ini mengambil studi kasus tentang rendahnya kesadaran warga Kota Depok terhadap perilaku membuang sampah. Serta pemerintah daerah Kota Depok yang kurang untuk menjadi suri tauladan bagi rakyatnya.
Dengan hal-hal kecil yang kita mulai sejak dini dapat mengurangi sampah yang makin hari makin tak terkendali, misalnya saja membiasakan diri membuang sampah pada tempatnya. Makalah ini akan sedikit membahas kebiasaan buang sampah sembarangan yang sudah menjadi budaya dimasyarakat dari sudut pandang filsafat serta memberi solusi menurut pandangan dari penyusun.

1.2    Rumusan Masalah
1.2.1   Apa yang menyebabkan masyarakat terbiasa membuang sampah sembarangan?
1.2.2   Bagaimana pandangan dari sisi filsafat mengenai fenomena kebiasaan masyarakat dalam membuang sampah sembarangan (ontologi, epistimologi, dan aksiologi)?
1.3  Tujuan
1.3.1    Mengetahui penyebab-penyebab mengapa masyarakat membuang sampah sembarangan,
1.3.2    Mengetahui tentang pandangan dari sisi ilmu filsafat (ontologi, epistimologi, dan aksiologi) mengenai perilaku masyarakat dalam membuang sampah sembarangan,
1.3.3    Memenuhi tugas mata kuliah Filsafat dan Etika Akademik progam studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember.
1.4  Batasan Masalah
Dalam makalah ini penyusun membatasi pembahasan pada lingkup Indonesia dan secara khusus Kota Depok. Mulai dari pembahasan mengenai penyebab hingga pandangan dari segi filsafat.

BAB 2. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Arti dan Pengertian Filsafat
            Sebelum membahas tentang Filsafat Ilmu, lebih dahulu mengetahui apa yng dimaksud dengan filsafat. Dalam filsafat terdapat banyak arti filsafat, sesuai dengan latar belakang para filosof yang memberikan arti tersebut. Hasbullah Bakry (1970:7) mengemukakan arti filsafat dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu asal usul filsafat (etimologi), pengertian praktisnya, dan perbedaan dengan ilmu-ilmu lainya (Dison Mulyadi, 2010:4).
            Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang, yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
            Sering kita melihat seorang ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu social. Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari lulusan IPS. Atau lebih sedih lagi, seorang ilmuwan memandang dan rendah kepada pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral, purung disiplin keilmuannya masing-masing, sebaiknya tengadah ke bintang-bintang dan tercengang: Lho, kok masih ada langit lain diluar tempurung kita. Dan kita pun lalu menyadari kebodohan kita sendiri. Yang saya tahu, simpul Sokrates, ialah bahwa saya tak tahu apa-apa!
            Kerendah hatian Sokrates ini bukanlah verbalisme yang sekadar basa-basi. Seorang yang berpikir filsafati selain tengadah ke bintang-bintang juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir filsafati yang kedua yakni sifat mendasar . Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan criteria tersebut dilakukan? Apakah criteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus mulai dari suatu titik, yang awal dan pun sekaligus akhir. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar?
“ah, Horato,” desis Hamlet, “masih banyak lagi di langit dan di bumi, selain yang terjaring dalam filsafatmu.” Memang demikian, secara terus terang tidak mungkin kita menangguk pengetahuan secara keseluruhan, dan bahkan kita tidak yakin pada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang berstandart. Dalam hal ini kita hanya berspekulasi dan inilah yang merupakan ciri filsafat yang ketiga yakni sifat spekulatif
            Kita mulai mengernyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadapat filsafat: bukankah spekulasi ini suatu dasar yang tidak bisa diadakan? dan seorang filsuf akan menjawab: memang namun hal ini tidak bisa dihindarkan. Menyusur sebuah lingkaran kita harus mulai dari sebuah titik bagaimanapun juga spekulatifnya yang penting adalah dalam prosesnya, baik dalam analis maupun pembuktiannya, kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat menetapkan dasar dasar yang dapat  diandalkan. Apakah yang disebut logis? apakah yang disebut benar? apakah disebut sahih? apakah alam ini teratur atau kacau? apakah hidup ini ada tujuannya atau absort? Adakah hokum yang mengatur alam dan segenap sarwa kehidupan?
            Sekarang kita sadar bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada di mulai dengan spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan criteria tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang di atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik dan buruk maka kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa wawasan apa yang di sebut indah atau jelek tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian (Jujun S. Suriasumantri, 2007).
2.2 Pengertian Lingkungan
            Istilah lingkungan mengandung pengertian yang luas sekali, secara ilmu bahasa akan memerlukan penguraian yang panjang lebar dan menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia serta makhluk hidup pada umumnya, yang dimaksud dengan lingkungan alam dalam tulisan ini adalah pengertian yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan “Environment”. Lingkungan adalah semua benda dan kondisi termasuk manusia di dalamnya manusia dan aktivitasnya, yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainya.(http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja/diakses pada 24 September 2014).

2.3 Perlindungan Lingkungan Hidup
Pembangunan memberikan dampak positif berupa kesejahteraan, namun disisi lain juga menimbulkan dampak negative yaitu terjadinya kerusakan atau tercemarnya lingkungan hidup. Gagasan hokum pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup menjadi kata kunci dalam pengelolaan lingkungan hidup yang mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, apabila terjadi penurunan fungsi lingkungan hidup akibat perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup, maka serangkaian kegiatan penegakan hokum (law enforcement) harus dilakukan, dengan tujuan tidak hanya sekedar menjatuhkan sanksi kepada perusak atau pencemar lingkungan, tetapi tujuan yang paling pokoknya adalah untuk memulihkan kemampuan lingkungan hidup tersebut dan berupaya meningkatkan kualitasnya.
2.4 Sampah
            Sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam pembuatan atau pemakaian barang rusak atau bercacat dalam pembautan manufaktur atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan.sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah didefinisikan oleh manusia menurut derajat keterpakaianya, dalam proses-proses alam sebenarnya tidak ada konsep sampah, yang ada hanya produk-produk yang dihasilkan setelah dan selama proses alam yang berlangsung. Dalam kehidupan manusia, sampah dalam jumlah besar datang dari aktivitas industri (dikenal juga dengan sebutan limbah), misalnya pertambangan, manufaktur, dan konsumsi.

BAB 3. STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN
3.1 Studi Kasus
Banyak kalangan menilai, Kota Depok gagal meraih Piala Adipura karena kesadaran warga dan aparat Pemkot dalam menjaga kebersihan masih kurang. Masih banyak perilaku membuang sampah sembarangan. "Belum ada kesadaran secara bersama-sama untuk tidak membuang sampah sembarangan," ujar Sekretaris Penggerak Piala Adipura Kota Depok, Rachmat Subagio kepada Jurnal Nasional, Kamis (9/6).
Dikatakan, Pemkot Depok sudah bekerja maksimal untuk meraih piala kebanggan di bidang kebersihan itu. Namun, warga masih suka membuang sampah seenaknya. Pemkot berulang-ulang meminta warga memilah sampah organik dan nonorganik sebelum dibuang ke Unit Pengolahan Sampah (UPS).
Namun, proses pemilahan sampah tidak juga dilakukan. "Saya tidak hanya ingin menyalahkan warga. Perilaku yang sama juga ditunjukkan aparat di lingkungan Pemkot Depok. Meski wadah sudah disediakan dua jenis sampah, yakni sampah organik dan nonorganik, tetap saja mereka tidak melakukan pemilahan," ujarnya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Sarimun Hadisaputra mengurai, untuk mengatasi masalah sampah dibutuhkan political will dari Pemkot Depok. Pertama, Pemkot Depok harus memahami makna bersih, aman, nyaman, dan indah. "Kalau empat hal itu bisa dipahami, saya yakin Pemkot Depok dapat mengeluarkan berbagai ide untuk menanggulangi masalah sampah," katanya usai menjadi pembicara dalam seminar Pengelolaan Sampah di Kota-Kota Besar: Tantangan dan Alternatif Solusi, di Kampus Universitas Indonesia (UI), Kamis (9/6).
Sarimun mengingatkan, untuk mengatasi masalah sampah di Kota Depok juga di kota-kota lain  bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal yang sulit. Kondisi keuangan yang terbatas bukan alasan sulitnya pengentasan masalah sampah. "Pemkot yang berwibawa dapat memberdayakan masyarakat untuk bersama-sama mengetasi masalah persampahan," ujarnya.
Mantan Wali Kota Jakarta Barat itu melihat, warga Depok masih menganggap sampah sebagai "musuh" atau benda yang tidak dianggap. Tidak heran, perilaku membuang sampah sembarangan masih tampak dominan. "Kalau pola pikir masyarakat Depok tidak menganggap sampah sebagai musuh, dengan sendirinya masalah sampah dapat teratasi. Impian agar Kota Depok bersih, aman, nyaman, dan indah dapat terwujud," kata Sarimun.
Sarimun mengatakan, saat ini program UPS yang digalakkan Pemkot Depok seharusnya dapat mengatasi masalah sampah. Namun, tidak ada salahnya jika Pemkot Depok belajar atau melakukan studi banding ke Surabaya, Palembang, Yogyakarta, dan Probolinggo dalam upaya mengatasi sampah. Dari empat kota itu, ia merekomendasikan Probolinggo. Bahkan, Pemkot Probolinggo merasa kekurangan sampah. "Misalnya, kompos yang dihasilkan UPS digunakan sebagai pupuk pohon belimbing. Depok kan Kota Belimbing," sindirnya.
Sementara itu, Ketua Program Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan UI (KPP-UI) Komara Djaya mengatakan, dalam pengelolaan sampah kota, ada lima aspek yang berpengaruh: pembiayaan, teknik operasional, kelembagaan, hukum, dan peran serta masyarakat. "Aspek pembiayaan perlu didalami dengan lebih baik karena pengelolaan sampah memerlukan biaya yang tidak sedikit sehingga sangat kritikal. Karena itu, masalah pembiayaan akan lebih disorot," katanya.
Komara mengingatkan, Depok merupakan perluasan Jakarta. Tensi masalahnya pun semakin tinggi. Untuk mengatasi dan menanggulangi masalah ini harus ada perubahan life style di kalangan warga Depok. "Warga harus melihat sampah sebagai peluang bisnis. Sampah itu merupakan industri jika dikelola secara baik," katanya.
Menurutnya, masyarakat Depok belum secara maksimal memanfaatkan sampah sebagai industri. Padahal, sampah yang dihasilkan Kota Depok jumlahnya cukup banyak. Baik dari sampah rumah tangga, sampah restoran, sampah rumah sakit, dan sampah mal. "Bila dimanfaatkan secara baik, sampah-sampah itu dapat dijadikan peluang usaha," katanya.
Sementara itu, sebagai pengelola TPST Bantargebang, Managing Director PT Godang Tua Jaya jo PT Navigat Organic Energy Indonesia, Dauglas J Manurung mengatakan, masalah sampah di kota akan semakin kompleks seiring pertumbuhan penduduk, aktivitas, dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Hal itu memberikan kontribusi secara signifikan pada peningkatan volume sampah, serta semakin beragamnya jenis dan karakteristik sampah. "Rata-rata di kota besar di Indonesia, setiap orang menghasilkan sampah 2-2,5 liter per hari, dengan asumsi sampah yang dihasilkan mempunyai kepadatan," ujarnya.
Dauglas mengatakan, diperlukan peran serta swasta dalam pengelolaan sampah: pengumpulan, pengangkutan, insinerator, daur ulang, landfill, dan lain-lain. Semua itu harus dilakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel. "Diperlukan perangkat kebijakan dalam pengelolaan sampah oleh swasta, seperti: kemudahan dalam memenuhi ketentuan dan adanya inisiatif yang menarik dari pemerintah dan swasta," katanya.

3.2 Pembahasan
Indonesia, sebuah Negara yang jumlah penduduknya tergolong besar dibandingkan Negara-negara lain di dunia. Namun sayangnya dari setiap individu-individu tersebut sebagian besar masih berfikir untuk dirinya sendiri atau egois.  Sebagai contoh, masyarakat Kota Depok yang masih belum bisa meraih Adipura dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakatnya akan membuang sampah pada tempatnya masih rendah. Diperparah lagi dengan tidak adanya cerminan yang baik dari pemerintah kota Depok kepada masyaraktnya tentang perilaku membuang sampah. Aparat pemerintahan ini juga masih sering membuang sampah di sembarang tempat. Masyarakat bersikap seolah-olah tidak peduli dengan lingkungan tempat mereka tinggal selama ini, bersikap apatis. Hal ini yang membuat mengapa membuang sampah sembarangan sudah menjadi budaya di kalangan masyarakat kita. Sebelum hal ini menjadi budaya, pastinya terlebih dahulu timbul kebiasaan yang tidak ada tindakan pencegahan tentang membuang sampah sembarangan.
Banyak sebab yang menyebebkan bagaimana perilaku membuang sampah sembarangan ini bisa terbentuk dan bertahan kuat di dalam perilaku kita. Sebab yang pertama bisa jadi sistem kebiasaan masyarakat terhadap perilaku membuang sampah. Mungkin saja dalam pikiran bawah sadar, mereka telah menganggap bahwa membuang sampah tidak pada tempatnya ini bukan suatu hal yang salah dan lazim untuk dilakukan. Mereka menganggap perilaku ini bukan sesuatu yang bisa menimbulkan dosa. Selanjutnya, norma lingkungan sekitar seperti keluarga, tetangga sekitar, lingkungan lembaga pendidikan, dan lingkungan tempat kerja. Dalam hal ini lingkungan berpengaruh besar, karena lingkungan menjadi suatu habitat dimana karakter seorang individu akan terbentuk. Sehingga secara tidak sadar perilaku membuang sampah sembarangan akan menjadi suatu bentukan perilaku yang terinternalisasi di dalam pikiran bahwa hukum membuang sampah sembarangan adalah boleh. Cara seseorang individu belajar yang paling mudah untuk diingat adalah dengan proses imitasi.
Namun tidak adil bila hanya menyalahkan salah satu pihak saja, hal ini bukan sepenuhnya kesalahan dari masyarakat. Namun juga ketersediaan tempat sampah juga sangat berpengaruh terhadap perilaku buang sampah sembarangan. Pemerintah Indonesia tentunya sudah memiliki lembaga Negara yang bertanggungjawab terhadap urusan kebrsihan di Negara ini, misalnya DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan). Yang dituntut untuk membuang sampah pada tempatnya bukan hanya masyarakat saja, namun semua kalangan, tidak pandang itu pengusaha maupun apart pemerintahan, semua harus membuang sampah tidak di sembarang tempat. Gambaran kecil saja, dari studi kasus di atas pemerintah Kota Depok belum bisa mencontohkan tindakan membuang sampah pada tempatnya. Jadi, sebagai aparat pemerintahan seharusnya bisa menjadi suri tauladan bagi rakyatnya, tidak terkecuali dalam hal membuang sampah. Tidak heran jika dari kasus tersebut Kota Depok belum bisa meraih Adipura, karena lingkungan hidup mereka yang belum bersih.
Pandangan filsafat mengenai perilaku masyarakat dalam membuang smpah terbagi dalam tiga bagian yaitu, ontologi, epistimologi dan aksiologi.
a.       Ontologi
Tuhan telah menciptakan bumi ini dalam keadaan ayng seimbang, alam yang indah, binatang dan tanaman yang beragam, dan semua itu diciptakan untuk kesinambungan kehidupan manusia di bumi ini. Pada saat pertama kali bumi ini diciptakan, bumi masih dalam keadaan sangat ideal untuk dihuni. Namun seiring bertambahnya jumlah manusia yang menempati bumi ini semakin berkurang keidealan bumi. Apalagi dengan sikap beberapa manusia yang berbuat segala sesuatu tanpa adanya pertanggungjawaban kepada bumi ini.
Hal di atas tentunya menyalahi etika lingkungan. Salah satu etika lingkungan adalah Teori Non-antroposentris. Teori Non-antroposentris (Stenmark, 2002) adalah teori yang berkembang dengan tinjauan atau fokus pada non-antroposentrs, seperti ekstensionis, zoo-centris, biosentris, dan eksosentris. Pandangan ekstensionis dalam teorinya mempertimbangkan semua makhluk hidup sangat berperan dalam memelihara lingkungan biotik dan lingkungan abiotik karena makhluk hidup punya nilai, etika, dan moral (Cafaro, 2002). Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 menyebutkan bahwa kesatuan ruang dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup yang termasuk di dalamnya manusia dan perilaku manusia yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainya.
Kegiatan menjaga dan melestarikan lingkungan hidup salah satunya adalah dengan  selalu membuang sampah pada tempatnya. Hal ini berarti membuang barang atau sesuatu yang sudah tidak berguna atau sudah tidak diperlukan lagi keberadaanya ke dalam sebuah tempat yang dikhususkan untuk menampung barang-barang ini. Tidak meletakkan barang-barang ini disembarang tempat atau tidak membiarkanya berserakan di sekitar kita. Melakukan hal ini berarti sudah mengamalkan etika yang benar terhadap lingkungan hidup. Dan dari studi kasus mengenai kebiasaan membuang sampah masyarakat Kota Depok, mereka belum memahami apa arti membuang sampah secara benar itu.
b.      Epistimologi
Membuang sampah pada tempatnya mungkin kegiatan yang sederhana, namun belum semua orang bisa melaksanakanya secara setulus hati. Dari mulai kegiatan penyediaan tempat sampah di berbagai sudut wilayah, dengan menyesuaikan situasi dan kondisi dimana tempat sampah itu ditempatkan. Semakin banyak tempat sampah yang tersedia akan semakin baik baik. Masyarakat akan semakin memiliki daya jangkau yang tinggi terhadap tempat sampah. Diharapkan dengan hal ini orang dapat dengan mudah menemukan tempat sampah.
Selanjutnya dari tempat-tempat sampah tersebut dipisahkan antara sampah organik (misalnya sampah dari rumah tangga) dan sampah anorganik (plastic, kertas, sterofoam dan lain-lain). Sehingga pada saat dikumpulkan di TPA akan lebih mudah dalam pengklasifikasianya.
Supaya lebih menarik masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya, bisa dipasang tulisan-tulisan yang berisi slogan-slogan yang bisa menarik masyarakat untuk mau membuang sampah pada tempatnya. Dengan masyarakat melihat kemudian membaca slogan pada tempat sampah tersebut, orang akan tersugesti untuk melakukan apa yang diinginkan oleh tulisan tersebut.
Dan pada saat seseorang menghasilkan sampah, akhirnya mereka sudah tidak kebingungan lagi dan bisa dengan segera menuju tempat sampah yang sesuai dengan daya jangkaunya. Membuka tutup tempat sampah kemudian memasukkan sampah yang ingin dibuang ke dalam tempat sampah.
Setidaknya dengan beberapa langkah sederhana tersebut orang telah mengamalkan bagaiman cara membuang sampah secara benar itu dan kegiatan buang sampah sembarangan akan terahpuskan karena tidak sesuai dengan asas kepedulian lingkungan.
c.       Aksiologi
Masalah sampah yang tak kunjung usai memunculkan berbagai dampak buruk bagi lingkungan. Berbagai bencana datang karena sampah, misalnya saja banjir. Selain bencana, sampah yang tidak dapat terurai oleh bakteri tanah juga bisa menjadi penyebab terjadinya pencemaran tanah. Terutama di kota-kota besar padat penduduk, hal ini memiliki potensi yang besar untuk terjadi. Selain sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, hal ini juga disebabkan oleh tidak adanya tindak tegas dari pemerintah. Tidak adanya penegakan undang-undang yang mengatur tentang sampah secara efektif dan efisien.
Misalnya saja diterapkan sistem denda di Kota Depok. Dengan denda bisa jadi berefek pada kebersihan dan kesehatan lingkungan, karena tidak ada lagi masyarakat yang membuang sampah di pinggir jalan, bantaran sungai, dan selokan-selokan. Masyarakat lebih memilih membuang sampah pada tempatnya daripada harus kehilangan uangnya. Dengan begini akan terbentuk karakter dan kebiasaan bahwa membuang sampah harus pada tempatnya. Dari kita memulai membuang sampah pada tempatnaya, secara tidak langsung kita sudah ikut ambil andil dalam usaha menjaga kebersihan lingkungan. Jika sudah begini lingkungan akan bersih dan tentunya akan terhindar dari berbagai bencana.
Banjir, adalah salah satu bencana yang erat hubunganya dengan keberadaan sampah-sampah yang tidak pada tempatnya. Sebagai contoh nyata, sampah yang dibuang di aliran-aliran sungai akan menghambat jalanya air. Lama-kelamaan jika dibiarkan dan musim hujan tiba, sungai sudah tidak bisa lagi menampung air, dan akhirnya air tersebut meluber keluar dan menggenangi pemukiman penduduk di sekitar bantaran sungai. Sungai bisa kita ibaratkan sebagai pembuluh darah, dan darahnya kita analogikan seperti sungai. Jika banyak timbunan sampah berupa lemak dalam pembuluh darah, maka akan menghambat prosese peredaran darah keseluruh tubuh. Jika tidak segera ditangaani, pembuluh darah bisa saja pecah karena tidak kuat menahan tekanan darah yang dipompa oleh jantung sementara aliran darahnya tidak lancer. Dengan menghentikan perilaku apatis terhadap terhadap lingkungan, akan membawa dampak positif terhadap kita, manusianya sendiri. Tidak akan ada lagi berita bencana banjir di berbagai daerah di Indonesia, Kota Depok khususnya.
BAB 4. PENUTUP

4.1. Kesimpulan
4.1.1        Kesadaran masyarakat dalam membuang sampah sesuai dengan peraturan yang berlaku ternyata masih sangat minim, hal ini terlihat dengan masih banyaknya warga yang membuang sampah tidak pada tempat sampah,
4.1.2        Kota Depok dirasa belum berhasil meraih Adipura dikarenakan kesadaran maasyarakat dan pemerintah daerahnya masih kurang dalam hal menjaga dan melestarikan lingkungan, salah satunya membuang sampah sembarangan,
4.1.3        Pemerintah daerah kota depok masih belum bisa memberikan contoh yang benar dalam perilaku membuang sampah, mereka masih saja membuang sampah sembarangan,
4.1.4        Pengawasan terhadap masalah sampah menjadi tanggung jawab kita semua baik itu pemerintah kota, provinsi dan masyarakat pada umumnya.
4.2 Saran
Dari berbagai uraian di atas, saya akan memberikan beberapa saran yang bisa menjadi alternatif dalam menangani masalah sampah. Selama ini progam-progam pengelolaan sampah lebih berkonsentarasi pada proses mengolah sampah-sampah. Hal ini memang tidak salah, tapi alangkah lebih baiknya juga memperhatikan aspek penghasil sampah itu sendiri. Jika manusianya bisa diselesaikan, maka masalah-masalah sampah juga bisa terselesaikan. Bisa jadi hal pertama yang dilakukan untuk mengurangi sampah adalah mengurangi kegiatan konsumsi yang berlebihan, terutama pada produk-produk yang menggunakan bungkus-bungkus plastik, dan diusahakan menggunakan produk dengan system refill. Pada saat berbelanja, disarankan untuk membawa tas belanja, agar tidak perlu lagi membutuhkan kantong-kantong plastik. Melakukan pemilahan sampah dengan menyediakan tempat sampah khusus anorganik dan organik, namun kendalanya banyak masyarakat yang masih bingung membedakan mana yang sampah organik dan mana sampah yang anorganik, terutama masyarakat di pedesaan, namun hal ini bisa diatasi dengan sering mengadakan sosialisasi.  Mendaur ulang sampah adalah kegiatan yang marak disuarakan di berbagai tempat. Kegiatan ini dirasa efektif dalam mengurangi jumlah sampah sekaligus meningkatan nilai guna barang bekas tersebut. Sampah-sampah organik dapat dijadikan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kompos yang selanjutnya berfungsi dalam bidang pertanian. Saling mengingatkan antar sesama manusia adalah juga merupakan salah satu usaha dalam mengurangi tumpukan sampah-sampah yang semakin menggunung.
Sebaiknya bagi para aparat pemerintahan, khususnya pemerintah daerah  dapat memberi cerminan tindakan yang baik, dengan selalu membuang sampah pada tempatnya, baik itu dilihat oleh masyarakat maupun tidak disaksikan. Serta perlu diefektifkanya  peraturan daerah yang mengatur khusus tentang sampah, mulai dari peraturan tentang membuang sampah pada tempatnya hingga peraturan tentang pengelolaan sampah yang efektif dan efisien. Penegakan hukum secara tegas, aturan yang telah dibuat dan disepakati harus dijalankan secara konsekuen. Dalam hal ini pembuangan sampah, bagaimana terhadapnya peraturan harus ditegakkan. Jika perlu bisa diberlakukan sistem denda bagi mereka yang membuang sampah secara sembarangan. Karena menurut saya karakter orang Indonesia adalah tidak akan bertindak sebelum dipaksa. Perlu adanya keterlibatan seluruh unsur  masyarakat terkait, dalam pengelolaan dan pengolahan masalah sampah.
Jadi pada intinya masalah sampah adalah masalah kita bersama dan jangan merasa bahwa apa yang kita lakukan ini sia-sia. Karena hal kecil yang kita lakukan akan berdampak yang besar demi terjaganya kbersihan lingkungan kita.

DAFTAR PUSTAKA
Mulyadi, Dison, 2010, Filsafat Ilmu, Jember
Jujun S. Suriasumantri, 2007
Buku Undang-Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2008

http://JunalNasional.DigiLib|AMPL - Warga Depok Masih Suka Buang Sampah Sembarangan/ diakses pada 24 September 201

1 comments:

Search This Blog

Powered by Blogger.

Labels

Popular Posts

Like Us