PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia, sebagai Negara dengan tingkat populasi tinggi, tentunya
memliki generasi penerus yang jumlahnya banyak. Potensi-potensi yang ada ini
harusnya lebih dikembangkan dan diasah, agar nantinya bisa membawa negri ini
kearah yang lebih baik. Namun, melihat keadaan sistem pendidikan di Indonesia masih
memerlukan beberapa proses revisi terhadap sistem pendidikan kita. Kebanyakan
lembaga pendidikan masih terfokus pada bagaimana mencetak muda-mudi yang
pintar, padahal masih ada substansi yang juga harus diperhatikan, yaitu
pendidikan karakter. Dengan adanya pendidikan karakter, tidak hanya akan
mencetak remaja yang pandai namun juga bermoral. Karena jika pandai saja tanpa
akhlak tidak akan ada artinya.
Komnas Perlindungan Anak mencatat pada 2011 telah terjadi 339 kasus
dengan korban tewas 82 korban. Jumlah ini meningkat tajam dari tahun 2010
sebanyak 128 kasus. Dan pada tahun 2012 tercatat terjadi 147 kasus tawuran
pelajar dengan korban jiwa sebanyak 82 anak, ironisnya angka ini terus naik
ditahun 2013 yang mencapai 299 kasus tawuran pelajar dengan 19 pelajar
meninggal (liputan6.com diakses pada 3-10-2014). Dari data yang ada dapat
disimpulkan bahwa di Indonesia dalam kurun waktu empat tahun kasus tawuran
antarpelajar selalu mengalami kenaikan, dan hal ini menunjukan kurangnya
pendidikan karakter pada para siswa yang menjadi salah satu sebab mudah
terjadinya tawuran antarpelajar.
Saat ini, di Pulau Jawa, kota yang memiliki potensi tinggi dalam
terjadinya tawuran pelajar adalah Jakarta dan Surabaya. Memang di kedua kota
tersebut banyak berdiri lembaga-lembaga pendidikan, sehingga menjadikan kedua
kota tersebut sebagai tujuan pendidikan. Sebagai studi kasus dalam paper ini, penyusun mengambil
kasus tawuran antarpelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kota Blitar.
Hanya karena hal-hal sepele saja sudah bisa menyulut api emosi dari para darah
muda ini. Perilaku remaja seperti ini menunjukan bahwa mereka sedang mengalami
proses peralihan dari masa kanak-kanak menuju tahap dewasa.
Tawuran pelajar merupakan fenomena sosial yang secara signifikan
meresahkan masyarakat luas. Entah apa yang ada pada fikiran mereka, atau
mungkin ada faktor psikologis lainya, yang artinya harus segera dicari solusi
dari permasalahan ini. Mengingat, potensi yang prespektif, dinamis, energik,
patriotisme, dan idealisme. Hal ini dibuktikan dengan sejak jaman pergerakan
nasional pemuda banyak memberikan konstribusi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Agar peranan dan fungsi pendidikan yang begitu mulia dan agung
tidak semakin tecoreng dengan tingkah anak didiknya, maka disusunlah paper ini
dengan harapan bisa memberikan resolusi konflik yang secara efektif dan efisien
dapat digunakan untuk memecahkan masalah tawuran pelajar di Indonesia. Ide awal
topik penyusunan paper ini berangkat dari banyaknya kasus tawuran yang
akir-akhir ini booming di kalangan pelajar.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kondisi pelajar terkait kasus tawuran pelajar yang marak terjadi?
2.
Bagaimana
solusi pemecahan masalah tawuran pelajar di Indonesia?
Tujuan
1.
Mengetahui
bagaimana kondisi pelajar terkait kasus tawuran pelajar yang marak terjadi.
2.
Mengetahui
solusi pemecahan apa yang dapat digunakan secara efektif dan efisien dalam menyikapi
kasus tawuran pelajar.
3.
Memenuhi
tugas matakuliah Pengantar Sosiologi Progam Studi Administrasi Negara Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember.
PEMBAHASAN
Teori Konflik
Dahrendorf
Masalah mendasar dalam teori konflik
adalah teori iyu takpernah berhasil memisahkan dirinya dari akar
structural-fungsionalnya. Teori ini lebih merupakan sejenis fungsionalisme
strukturalyang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis
terhadap masyarakatnya. Dahrendorf (1959,1968) adalah tokoh utama yang
berpendirian bahwa masyarakat memilki dua wajah (konflik dan konsensus) dank
arena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian, teori konflik dan
teori konsensus. Teoritis consensus harus menguji nilai integarsai dalam
masyarakat dan teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan
penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan tekanan itu.
Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat takkan ada tanpa consensus dan konflik
yang menjadi persyaratan satu sama lain. jadi, kita tak akan punya konflik
kecuali ada consensus sebelumnya. Contoh, nyonya Perancis sangat tak mungkin
berkonflik dengan pemain catur Chili karena tak ada kontak antara mereka, tak
ada integrasi sebelumnya yang menyediakan basis untuk konflik. Sebaliknya,
konflik dapat menimbulkan consensus dan integrasi. Contohnya adalah aliansi
antara Amerika Serikat dan Jepang yang
berkembang sesudah Perang Dunia II. Meski ada hubungan timbale balik antara
consensus dan konflik, Dahrendorf tak optimis mengenai pengembangan teori
sosiologi tunggal yang mencakup kedua proses situ. Dia menyatakan:”mustahil menyatukan teori untuk
menerangkan masalah yang telah membingungkan pemikir sejak awal perkembangan
filsafat Barat” (1959:164). Untuk menghindarkan diri dan teori tunggal itu, Dahrendorf
membangun teori konflik masyarakat. Dahrendorf mulai dengan, dan sangat
dipengaruhi oleh, fungsionalisme structural. Ia menyatakan bahwa, menurut
fungsionalis, system social dipersatukan oleh kerja sama sukarela atau oleh
consensus bersama atau oleh kedua-duanya. Tetapi, menurut teoritisi konflik
(atau teoritisi koersi) masyarakat sisatukan oleh “ketidakbebasan yang
dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu dalam masyarakat mendelegasikan
kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain Fakta kehidupan social ini
mengarahkan Dahrendorf kepada tesisi sentralnya bahwa perbedaan distribusi
otoritas “selalu menjadi factor yang menentukan konflik social sistematis”
(1959:165) (George Ritzer & Douglas J. Goodman, diterjemahkan oleh
Alimandan, Jakarta: 2004)
Tawuran menjadi suatu fenomena yang sering terjadi akhir-akhir ini,
beritanya pun gencar terdengar di mana-mana dari berbagai media masa. Terlebih lagi jika
tawuran yang terjadi adalah tawuran antar pelajar, remaja-remaja SMA yang masih
sama-sama menuntut ilmu. Ini adalah salah satu dari wujud konflik sosial yang
terjadi di Indonesia yang hingga saat ini masih marak terjadi. Biasanya tawuran
antar pelajar SMA ini bermula dari hal-hal sepele yang tidak seharusnya
menimbulkan konflik berkepanjangan. Menurut pendapat beberapa ahli, kebudayaan
tawuran di kalangan pelajar Indonesia dikarenakan kondisi kebanyakan masyarakat
di Indonesia masih menganut solidaritas mekanik (berdasarkan atas persamaan).
Di mana rasa kesolidaritasan mereka masih sangat tinggi dalam hal kekeluargaan.
Mereka akan saling menjaga satu sama lain, dan membentuk suatu ikatan yang
kuat. Ciri-ciri inilah yang terlihat pada pelajar-pelajar SMA di Indonesia.
Terlebih jika dalam satu lembaga terdapat geng-geng.
Data dan fakta mengenai kondisi tawuran pelajar di Indonesia,
menunjukan bahwa tawuran pelajar merupakan fenomena sosial yang secara
signifikan meresahkan masyarakat luas. Sesungguhnya pelajar-pelajar Indonesia
adalah sebagai titik awal perubahan negeri ini, karena dirasa selain memiliki
potensi, mereka juga memiliki semangat juang yang tinggi. Namun karena kondisi
perkembangan psikologisnya yang tidak berjalan sebagaimana mestinya maka
terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan seperti munculnya tawuran pelajar. Secara
umum faktor-faktor penyebab konflik adalah:
1.
Perbedaan individu, misalnya:
perbedaan pendirian dan perasaan,
2.
Perbedaan latar kebudayaan sehingga
muncul pribadi-pribadi yang berbeda,
3.
Perbedaan kepentingan masing-masing
individu atau kelompok.
Kebanyakan faktor penyebab tawuran pelajar di Indonesia antara lain
minimnya pendidikan karakter dalam kurikulum, pengaruh tayangan kekerasan di
media masa seperti televisi maupun internet, dan terbatasnya ruang ekspresi
positif untuk siswa. Selain faktor tersebut, terdapat pemicu yang bisa
dikatakan paling konkret yang terjadi di lapangan. Antara lain, adanya
keinginan meningkatkan rating sekolah dengan cara menyerang sekolah
lain, pertandingan sekolah yang memicu keributan, lemahnya antisipasi aparat
keamanan dan hukum serta kurangnya perhatian orang tua dan pihak sekolah pada
siswa. Tawuran biasanya diawali oleh interaksi antara dua pihak atau lebih yang
saling melecehkan salah satu pihak. Dan pihak yang merasa harga dirinya ternoda
dengan singkat fikiran mereka akan melakukan balasan dengan kekerasan tanpa
adanya negosiasi terlebih dahulu.
Dari tawuran pelajar yang terjadi akan memunculkan beberapa akibat,
diantaranya:
1.
Hilangnya solidaritas antar kelompok
pelajar yang bertikai, yang menimbulkan keretakan hubungan,
2.
Timbulnya perubahan kepribadian pada
individu pelajar, seperti adanya rasa dendam,
3.
Kerusakan fasilitas yang ada di
sekitar lokasi kejadian perkara, baik itu fasilitas umum maupun fasilitas
pribadi,
4.
Dominasi salah satu kelompok yang
unggul saat tawuran terjadi terhadap kelompok yang lebih lemah,
5.
Kerugian fisik, pelajar uang
terlibat tawuran bisa saja mengalami luka-luka akibat hantaman benda tajam atau
lrmparan batu. Lebih parahnya lagi jika sampai menimbulkan korban jiwa.
Namun jangan memandang tawuran hanya dari akibat buruknya saja.
Disisi lain tawuran juga memiliki dampak positif, yaitu bisa lebih menambah
keakraban antar dua orang yang memiliki perselisihan. Karena dari mereka yang
tidak pernah bertemu menjadi sering bertemu daengan adanya tawuran. Dengan
sering bertemu mereka akan saling mengenal, dan bisa saja meningkatkan
solidaritas antar sesama pelajar dari beda lembaga pendidikan. Maka dari itu
semua konflik akibat dari konflik bisa dikatan berfungsi meningkatkan
integritas dalam masyarakat.
Sebagai studi kasus, penyusun mengambil kasus tawuran yang terjadi
di Blitar pada 08 Desember 2012 lalu. Tawuran tersebut melibatkan siswa SMK
Negeri1 Kota Blitar dengan SMK Katolik Kota Blitar. Kejadian ini berlangsung di
kawasan taman kota Blitar, taman Kota Kebonrojo usai menjalani ujian. Kronologi
kejadianya berawal ketika sekitar 30 pelajar SMK Katolik yang sedang berkumpul
di sebuah warung secara tiba-tiba oleh pelajar SMK Negeri 1 yang dibantu oleh
siswa SMK Islam dengan dilempari botol dan batu. Merasa tidak terima, pelajar
dari SMK Katolik balik membalas serangan tersebut hingga terjadilah tawuran di
taman Kebonrojo. Aksi tawuran ini reda setelah aparat kepolisian mendatangi
lokasi kejadian, dan seketika itu juga para pelajar tersebut melarikan diri. Meski
tidak ada korban jiwa dalam tawuran tersebut, namun ulah mereka itu membuat
pengguna jalan dan masyarakat sekitar taman khawatir terkena sasaran lemparan
batu. Dikarenakan mereka melempar batu tanpa melihat batu itu mengarah kepada
siapa. Pihak kepolisian Kota Blitar masih akan menyelidiki kasus ini secara
mendalam. Menganalisa dari tawuran pelajar yang terjadi di Blitar tersebut,
pelajar Indonesia umumnya belum mengamalkan toleransi antar sesamanya. Mereka
belum bisa menghargai hakekat perbedaan yang ada, padahal di Indonesia memilki
moto yang sangat ideal yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Namun di sisi
lain kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan pelajar yang melakukan aksi
tawuran tersebut, lembaga-lembaga yang bersangkutan dengan pelajar Indonesia
hendaknya berintrospeksi diri, mungkin saja ada yang salah dengan sistem yang
ada selama ini. Dari pihak orang tua juga mungkin kurang memperhatikan kondisi
anak-anak mereka terutama kondisi psikologis anak.
Adanya pihak ketiga sangat
dibutuhkan dalam usaha penyelesaian masalah tawuran pelajar, sebagai mediator
yang dapat memperlancar proses mediasi
antara kedua belah pihak yang tawuran. Misalnya saja pihak sekolah. Dalam kasus
tawuran pelajar, pihak sekolah bisa saja menjadi pihak ketiga sebagai pihak
yang netral, yang melihat secara objektif tawuran yang terjadi. Banyak
upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah dalam usaha meminimalisir
tawuran antar pelajar. Misalnya saja dengan membuat kegiatan yang dapat mengisi
waktu luang siswa, mengadakan sosialisasi-sosialisasi mengenai bahaya kekerasan
dan masih banyak cara yang lain, mengingat semakin maraknya tawuran pelajar di
Indonesia. Secara psikologis tawuran yang melibatkan pelajar usia remaja dapat
digolongkan sebagai kenakalan remaja. Termasuk juga dalam jenis penyimpangan
kolektif (group deviation) yang dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Dan jika dilihat dari jenis-jenis konflik, tawuran pelajar termasuk kedalam
ranah konflik antar kelompok, karena melibatkan dua kelompok yang berinteraksi.
Oleh sebab itu harus ada penanganan yang tegas dari pihak berwenang, sekolah
serta tak lupa peran penting dari keluarga untuk menjauhkan kasus tawuran dari pelajar Indonesia.
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Sistem
pendidikan di Indonesia perlu dikaji ulang, yaitu dengan menyertakan kurikulum
pendidikan karakter, agar bisa membentuk individu-individu yang pintar
sekaligus berkarter, karena berbeda dengan.
2.
Masa
remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak menuju tahap dewasa yang pasti
dialami oleh setiap manusia, dimana seorang remaja adalah sebagai agent of
change yang mampu merubah bangsa ini ke arah yang lebih baik lagi. Jadi
perlu keterlibatan berbagai pihak apabila terjadi konflik antar sesama pelajar,
seperti keluarga, sekolah, pemerintah serta dari pelajar itu sendiri dalam
menyelesaikan masalah tawuran, yang semuanya memiliki peranan masing-masing.
Saran
1.
Sebaiknya
para siswa bisa lebih menjalin hubungan komunikasi yang baik, entah itu dengan
guru, orang tua, teman, dan masyarakat dalam lingkungan sekitar dengan car
bersifat terbuka terhadap masalah-masalah hidupnya, serta dalam rangka proses
meningkatkan kemampuan dalam penyesuaian diri dan menghindari
kekerasan-kekerasan yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
2.
Bagi
pihak sekolah dan orang tua, hendaknya bisa menciptakan suasana dan kondisi
belajar yang kondusif, dengan menyediakan berbagai fasilitas pendidikan yang
dibutuhkan siswa, sehingga bisa membantu pencapaian prestasi yang gemilang.
3. Memberikan pengawasan yang ketat terkontrol dan perhatian penuh serta kesempatan pada anak untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dalam dirinya, sehingga para pelajar akan termotivasi dan terpacu dalam belajarnya. |